PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI WAHANA SISTEMIK PENDIDIKAN DEMOKRASI

PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI WAHANA SISTEMIK PENDIDIKAN DEMOKRASI
I. Abstrak
Pada dasarnya Pendidikan Kewarganegaraan merupakan citizenship education atau education for citizenship, yang mencakup pendidikan kewargangaraan di dalam lembaga pendidikan formal (dalam hal ini di sekolah dan dalam pendidikan guru) dan di luar sekolah baik yang berupa program penataran atau program lainnya yang dirancang atau sebagai dampak pengiring dari program lainnya yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai warganegara Indonesia yang cerdas dan baik.
Pendidikan demokrasi sebagai tatanan konseptual yang menggambarkan keseluruhan upaya sistematis dan sistemik untuk mengembangkan cita-cita, nilai, prinsip, dan pola perilaku demokrasi dalam diri individu warganegara, dalam tatanan iklim yang demokratis, sehingga pada gilirannya kelak secara bersama-sama dapat memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani Indonesia yang demokratis.
II. Pendahuluan
Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari isntrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status.
Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai satuan crash program. Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status pertama, kedua, ketiga dan keempat. Dalam status pertama, yakni sebagai mata pelajaran di sekolah, pendidikan kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasanan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa sampai dengan 1975 di Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajegan dalam konseptualisasi civics, pendidikan kewargaan Negara dan pendidikan IPS.
Hal itu tampak dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar pakai. Selanjutnya dalam kurikulum 1975 untuk semua jenjang persekolahan yang diberlakukan secara bertahap mulai 1976 dan kemudian disempurnakan pada 1984, sebagai pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara mulai diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi dan pengalaman belajar mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) atau ‘’Eka Prasetia Pancakarsa’’. Perubahan itu dilakukan untuk mewadahi missi pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 (Depdikbus: 1975a, 1975b, 1975c). Mata pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas 1 SD s/d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberaadaannya terus dipertahankan dalam Kurikulum 1984, yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan Kurikulum 1975. Di dalam Undang-Undang No. 2/1989 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang antara lain Pasal 39, menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Sebagai implikasinya, dalam kurikulum persekolahan 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara aspiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan dan strategi pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran Civics atau PKN atau PMP atau PMPKn yang berkembang secara fluktuatif hamper empat dasawarsa (1962-1998) itu, menunjukkan indikator telah terjadinya ketidakajegan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
III. Pembahasan
1. Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan
Krisis atau dislocation menurut Kuhn (1970) yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajegan konsep seperti 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; civics 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN 1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN 1973 yang diidentikkan dengan pengajaran IPS; PMP 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengjaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila danP4. Krisis operasional tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran serta secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigm pendidikan kewarganegaraan yang secara ajek diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional. Kini pada era reformasi pasca jatuhnya system politik Orde Baru yang diikuti dengan tumbuhnya komitmen baru ke arah perwujudan cita-cita dan nilai demokrasi konstitusional yang lebih murni, keberadaan dan jati diri mata pelajaran PPKn kembali dipertanyakan secara kritis. Dalam status kedua, yakni sebagai mata kuliah umum (MKU) pendidikan kewarganegaraan duwadahi oleh mata kuliah Pancasila dan Kewiraan. Mata kuliah Pancasila bertujuan untuk mengembangkan wawasan mahasiswa mengenai Pancasila sebagai dasar Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, sedangkan kewiraan, yang mulai 2000 namanya berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, bertujuan untuk mengembangkan wawasan mahasiswa tentang makna pendidikan bela negara sebagai salah satu kewajiban warganegara sesuai dengan Pasal 30 UUD 1945.
Kedua mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa, yang mulai 2000 disebut sebagai Mata Kuliah Pembinaan Kepribadian atau MKPK. Dalam status ketiga, yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu (Somantri, 1998), pendidikan kewarganegaraan merupakan program pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK (IKIP/STKIP/FKIP) Jurusan atau Program Studi Civics dan Hukum pada 1960-an, atau Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini. Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan kewarganegaraan. Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansinya induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan professional guru pendidikan kewarganegaraan. Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cenderung lebih terpusat pada profesionalisme guru. Sementara itu riset dan pengembangan epsitemologi pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu sistem pengetahuan, belum banyak mendapatkan perhatian. Dalam status keempat, yakni sebagai crash program pendidikan politik bagi seluruh lapisan masyarakat, Penataran P4 mulai Pola 25 jam sampai pola 100 jam untuk para Manggala yang telah berjalan hamper 20 tahun dengan Badan Pembina Pelaksanaan Pendidika P-4 atau BP7 Pusat dan Proipinsi sebagai pengelolanya, dapat dianggap sebagai suatu bentuk pendidikan kewarganegaraan yang bersifat non formal.
Seiring dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi melalui gerakan reformasi baru-baru ini, dan juga dilandasi oleh berbagai kenyataan sudah begitu maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme selama masa Orde Baru, tidak dapat dielakkan tudinganpun sampai pada Penataran P-4 yang dianggap tidak banyak membawa dampak positif, baik terhadap tingkat kematangan berdemokrasi dari warganegara, maupun terhadap pertumbuhan kehidupan demokrasi di Indonesia. Sebagai implikasinya, sejalan dengan jiwa dan semangat Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai Dasar Negara, kini semua bentuk Penataran P-4 telah dibekukan dan pada tanggal 30 April 1999 BP7 secara resmi dilikuidasi.
Kini tumbuh kebutuhan baru untuk mencari bentuk pendidikan politik dalam bentuk pendidikan kewarganegaraan yang lebih cocok untuk latar pendidikan non formal, yang diharapkan benar-benar dapat meningkatkan kedewasaan seluruh warganegara yang mampu berpikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan cita-cita, nilai dan prinsip demokrasi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan adanya sistem pendidikan demokrasi untuk seluruh lapisan masyarakat, terasa menjadi sangat mendesak. Dalam status kelima, yakni sebagai suatu kerangka konseptual sistemik pendidikan kewarganegaraan terkesan masih belum solid karena memang riset dan pengembangan epistemology pendidikan kewarganegaraan belum berjalan secara institusional, sistematis dan sistemik. Paradigma pendidikan kewarganegaraan yang kini ada kelihatannya masih belum sinergistik. Kerangka acuan teoretik yang menjadi titik tolak untuk merancang dan melaksanakan pendidikan kewarganegaraan dalam masing-masing statusnya sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah atau sebagai program pendidikan disiplin ilmu dan program guru atau sebagai pendidikan politik untuk masyarakat mengesankan satu sama lain tidak saling mendukung secara komprehensif. Sebagai akibatnya, program pendidikan kewarganegaraan di sekolah, di lembaga pendidikan guru dan masyarakat terkesan belum sepenuhnya saling mendukung secara sistemik dan sinergistik.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dirasakan rentan terhadap pengaruh perubahan dalam kehidupan politik, tidakajek dalam system kurikulum dan pembelajarannya; pendidikan gurunya yang cenderung terlalu memihak pada tuntutan formal-kurikuler di sekolah dan kurang memperhatikan pengembangan pendidikan kewarganegaraan sebagai bidang kajian pendidikan disiplin ilmu, epistemologi pendidikan kewarganegaraan tidak berkembang dengan pesat; pembelajaran sosial nilai Pancasila yang cenderung berubah peran dan fungsi menjadi proses indoktrinasi ideologi negara, tidak kokohnya dan tidak koherensinya landasan ilmiah pendidikan kewarganegaraan sebagai program pendidikan demokrasi.
Ada beberapa konsep yang dikaji, yakni jatidiri, pendidikan kewarganegaraan, wahana sistemik, dan pendidikan demokrasi. Istilah jatidiri adaptasi dan characteristic dalam bahasa Inggris, yang memiliki sinonim paling dekat dnegan individuality, speciality, attribute, feature, character (Devlin, 1961), yang dapat diartikan secara bebas sebagai ciri khas atau atribut. Cogan (1994:4) mengartikan civic education sebagai ‘’… the foundation course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives’’. Atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Sedangkan citizenship education atau education for citizenship oleh Cogan (Winataputra, 2007) digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup ‘’… both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organization, the media, etc which help to shape the totality of the citizen’’.
2. Pendidikan Demokrasi
Pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya digunakan dalam pengertian yang luas seperti ‘’citizenship education’’ atau ‘’education for citizenship’’ yang mencakup pendidikan kewarganegaraan di dalam lembaga pendidikan formal (dalam hal ini sekolah dam dalam program pendidikan guru) dan di luar sekolah baik yang berupa program penataran atau program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari program lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai warganegara Indonesia yang cerdas dan baik. Di samping itu juga konsep pendidikan kewarganegaraan digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaraan sebagai program pendidikan demokrasi. Kata sistem diserap dari bahasa Inggris sistem, yang secara harfiah artinya susunan. Sedangkan menurut Homby, Gatenby, dan Wakefield (Robinson, 1967) sistem diartikan sebagai group of things or parts working together in a regular relation atau kelompok benda-benda atau hal-hal atau bagian-bagian yang bekerjasama dalam suatu hubungan yang teratur. Pengertian tersebut dapat diperluas sebagai berikut:
1) Gabungan hal-hal yang disatukan ke dalam sebuah kesatuan yang konsisten dengan saling hubungan (interaksi,m interdependensi, interrelasi) yang teratur dari bagian-bagiannya.
2) Gabungan hal-hal (objek-objek, ide-ide, kaidah-kaidah, aksioma-aksioma) yang disusun dalam sebuah aturan yang koheren (subordinasi, atau inferensi, atau generalisasi) menurut beberapa prinsip (atau rencana, rancangan atau metode) rasional atau dapat dipahami.
Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa, pendidikan demokrasi merupakan bagian integral dari pendidikan nasional. Oleh karenanya secara kontekstual dewasa ini pendidikan demokrasi sangat memerlukan adanya pemahaman bersama tentang perlunya perubahan dan penegasan kembali mengenai visi, misi dan strategi psiko-pedagogis dan sosio-andragogis pendidikan kewarganegaraan, di mana pendidikan kewarganegaraan menjadi bagian substansinya.
Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu bidang kajian yang mempunyai obyek telaah kebajikan dan buadaya kewarganegaraan, dengan menggunakan disiplin ilmu pendidikan dan ilmu politik sebagai kerangka kerja keilmuan pokok serta disiplin ilmu lain yang relevan yang secara koheren diorganisasikan dalam bentuk program kurikuler kewarganegaraan, aktivitas sosial-kultural, dan kajian ilmiah kewarganegaraan. Demikian pula pendidikan demokrasi merupakan suatu konsep pendidikan yang sistemik dan koheren yang mencakup pemehaman tentang cita-cita, nilai, konsep, dan prinsip demokrasi melalui interaksi sosial kultural dan psiko-pedagogis yang demokratis, dan diorientasikan pada upaya sistematis dan sistemik untuk membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik. Oleh karena itu, rekonseptualisasi pendidikan kewarganegaraan dalam konteks pendidikan demokrasi Indonesia sangatlah diperlukan, karena ternyata proses pendidikan politik, demokrasi, dan HAM selama ini belum memberikan hasil yang menggembirakan dan prospek yang menjanjikan. Indikator yang kasat mata dapat dilihat pada kebebasan untuk mengeluarkan pendapat yang cenerung anarkhis, pelanggaran HAM di mana-mana, komunikasi sosial politik yang cenderung asal menang sendiri, hukum yang terkalahkan, dan kontrol sosial yang sering lepas dari tata krama, serta terdegradasinya kewibawaan para pejabat negara. Hal ini dibuktikan hasil ‘’National Survey of Voter Education’’ oleh Asia Foundation tahun 1998 yang menunjukkan bahwa lebih dari 60% dari sampel nasional mengindikasikan belum mengerti tentang apa, mengapa dan bagaimana demokrasi.
Proses rekonseptualisasi pendidikan demokrasi dapat didasarkan pada asumsi-asumsi dasar sebagai berikut:
1. Komitmen Nasional untuk memfungsikan pendidikan sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, memerlukan wahana psiko-pedagogis (pengembangan potensi didik di sekolah) dan sosio-andragogis (fasilitasi pemberdayaan pemuda dan orang dewasa dalam masyarakat) yang memungkinkan terjadinya proses belajar berdemokrasi sepanjang hayat melalui pendidikan demokrasi;
2. Transformasi demokrasi dalam masyarakat Indonesia memmerlukan konsep yang diyakini benar dan bermakna yang didukung dengan sarana pendidikan yang tepat sasaran, strategis, dan kontekstual agar setiap individu warga negara mampu memerankan dirinya sebagai warga negara yang cerdas, demokratis, berwatak dan beradab;
3. Pendidikan demokrasi yang dilakukan dalam konteks pendidikan formal, non formal, dan informal selama ini belum mencapai sasaran optimal dalam mengembangkan masyarakat yang cerdas, baik berwatak maupun beradab. Untuk itu diperlukan upaya sistematis dan sistemik untuk mengembangkan model pendidikan demokrasi yang secara teoretis dan empiris valid, kontekstual handal dan akseptabel.
4. Secara psiko-pedagogis, pendidikan demokrasi yang dianggap paling tepat adalah pendidikan untuk mengembangkan kewarganegaraan yang demokratis (education for democratic citizenship), yang di dalamnya mewadahi pendidikan tentang, melalui, dan untuk demokrasi (education about, through, and for democracy) yang dilakukan secara sistemik dan sistem pendidikan formal termasuk pendidikan tinggi.
5. Untuk mendapatkan model pendidikan kewarganegaraan yang secara psiko-pedagogis dan secara sosio-andragogis akseptabel dan handal diperlukan upaya untuk mengkaji kekuatan konteks kehandalan input dan proses, guna menghasilakn produk pendidikan yang memadai sesuai dengan visi, dan misi pendidikan kewarganegaraan untuk masyarakat warga Indonesia (civil society/madani/masyarakat Pancasila).
Pendidikan demokrasi dapat dilihat dalam dua setting besar, yaitu school based democracy education dan society based democracy eduaction. School based democracy merupakan pendidikan demokrasi dalam konteks atau berbasis pendidikan formal, sedangkan Society based democracy education merupakan pendidikan demokrasi dalam konteks atau berbasis kehidupan masyarakat.
Secara instrumental, pendidikan demokrasi di Indonesia telah digariskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan sejak dari usulan BP KNIP 1945 sampai munculnya Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU tentang Sisdiknas). Menurut Pasal 3 Undang-undang tentang Sisdiknas, tujuan pendidikan nasional dinyatakan sebagai: ‘’berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab’’. Dengan demikian sejak tahun 1945 sampai sekarang ini, instrumeperaturan perundang-undangan telah menempatkan pendidikan demokrasi sebagai bagian integral dari pendidikan.
Dalam tatanan instrumen kurikuler, pendidikan demokrasi telah disajikan dalam berbagai mata pelajaran dan mata kuliah. Namun demikian pendidikan demokrasi di Indonesia belum berhasil secara mendalam karena belum mengembangkan paradigma pendidikan demokrasi yang sistemik, sehingga upaya pengembangan ‘’civic intelligence civic participation, and responsibility’’ melalui berbagai dimensi ‘’civic education’’ sebagai wahana utama pendidikan demokrasi belum dapat diwujudkan secara maksimal.
Secara paradigmatik sistem pendidikan kewarganegaraan yang di dalamnya juga menyangkut pendidikan demokrasi memiliki komponen, yaitu: kajian ilmiah pendidikan ilmu kewarganegaraan, program kurikuler pendidikan kewarganegaraan, dan gerakan sosial-kultural kewarganegaraan, secara koheren bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan pengetahuan kewarganegaraan, nilai dan sikap kewarganageraan, dan keterampilan kewarganegaraan haruslah dioptimalkan.
IV. Penutup
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pendidikan kewarganegaraan merupakan bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu sosial yang bersifat lintas bidang keilmuan dengan intinya ilmu politik, yang secara paradigmatic memiliki saling kekerpautan yang bersifat implementatif dengan pendidikan ilmu sosial secara keseluruhan. Dalam hal ini bahwa social studies berpijak terutama pada konsep dan metode berpikir terutama pada ilmu politik dan sejatah; salah satu dimensi social studies adalah citizenship education, khususnya dalam upaya pengembangan intelligent social actor. Dalam konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan konsepsi masyarakat madani sebagai tatanan ideal sosial-kulturalnya, maka pendidikan kewarganegaraan mengemban missi: sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substantif akademis.
2. Pendidikan demokrasi di Indonesia belum berhasil secara mendalam karena belum mengembangkan paradigma pendidikan demokrasi yang sistemik, sehingga upaya pengembangan ‘’civic intelligence civic participation, and responsibility’’ melalui berbagai dimensi ‘’civic education’’ sebagai wahana utama pendidikan demokrasi belum dapat diwujudkan secara maksimal.

DAFTAR PUSTAKA
Donald W. Robinson. 1967. Promising Practices in Civic Education. New York: National Council for the Social Studies.
Kuhn, Thomas S. 2000. The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigm dalam Revolusi Sains. Penerjemah Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Somantri, Numan. 1975. Metode Mengajar Civics. Jakarta: Erlangga.
Winataputra, Udin S dan Dasim Budimansyah. 2007. Civic Education:L Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan.

Popular Posts