ETIKA PROFESI PENDIDIK



ENDANG KOMARA


Guru Besar Sosiologi Pendidikan LLDIKTI Wilayah IV Dpk pada STKIP Pasundan,
Ketua Dewan Pakar ASPENSI,
Ketua KORPRI LLDIKTI  Wilayah IV


Program Kabinet Indonesia Kerja Periode 2014-2019 fokus dengan pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia agar terjadi pemerataan pembangunan, terutama pembangunan di luar Jawa yang berhubungan dengan sarana dan sarana. Namun Program Kebinet Indonesia Kerja Jilid Kedua ini terfokus dengan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Tiga pilar Pendidikan sangat penting dalam menyiapkan bonus demografi pada 2035 antara lain: aspek kualitas dan relevansi, daya saing, akses dan pemerataan Pendidikan. Tata kelola Pendidikan dalam konteks pengelolaan secara etik mesti menggunakan norma dan moralitas umum yang berlaku dalam masyarakat. Penilaian Pendidikan tidak saja ditentukan oleh keberhasilan prestasi akademik semata, tetapi keberhasilan itu diukur dengan tolak ukur paradigma moralitas dan nilai-nilai sosial dan agama. Tolak ukur ini harus menjadi bagian yang integral dalam menilai keberhasilan suatu kegiatan Pendidikan.
Etika profesi keguruan adalah aplikasi etika umum yang mengatur perilaku keguruan. Norma moralitas merupakan landasan yang menjadi acuan profesi dalam perilakunya. Dasar perilaku tidak hanya hukum-hukum pendidikan dan prosedur pendidikan saja yang mendorong perilaku guru itu, tetapi nilai moral dan etika juga menjadi acuan penting yang harus dijadikan landasan kebijakan, terutama calon Mendikbud kedepan.
Secara ideal memang diharapkan komitmen aplikasi etika profesi keguruan muncul dari dalam profesi itu sendiri, sebagai tuntutan profesionalitas keguruan yang mendasarkan diri pada moralitas, norma serta hukum dan perundang-undangan. Norma yang dijadikan landasan bagi para pelaku Pendidikan adalah peraturan dan perundang-undangan yang berlaku untuk dipatuhi. Sedangkan moralitas yang dipergunakan sebagai tolak ukur dalam menilai baik buruknya kegiatan pendidikan yang mereka lakukan adalah cara pandang dan kekuatan diri dan masyarakat yang secara naluri atau insting semua manusia mampu membedakan benar dan tidaknya suatu tindakan dilakukan oleh pelaku pendidikan atas dasar kepentingan bersama dalam pergaulan yang harmonis di dalam masyarakat. Dalam konteks ini menurut M. Hosnan (2016:17), ada dua acuan landasan yang dipergunakan, yaitu etika normatif dan etika deskriptif.
 Pertama, etika normatif adalah sikap dan perilaku sesuai norma dan moralitas yang ideal dan mesti dilakukan oleh manusia atau masyarakat. Ada tuntutan yang menjadi acuan bagi semua pihak dalam menjalankan fungsi dan peran kehidupan dengan sesama dan lingkungan. Kedua, etika deskriptif adalah objek yang dinilai sikap dan perilaku manusia  dalam mengejar tujuan yang ingin dicapai dan bernilai sebagaimana adanya. Nilai dan pola perilaku manusia seperti apa adanya sesuai dengan tingkatan kebudayaan yang berlaku di masyarakat.
Masalah etika merupakan pembahasan yang paling dekat dengan tuntutan agama. Karena di dalam etika menjelaskan tentang perilaku dan sikap yang baik, tidak baik atau buruk, perilaku yang berdimensi pahala dan dosa sebagai konsekuensi perilaku baik dan buruk atau jahat menurut tuntutan agama dimana di dalamnya menentukan norma dan ketentuan-ketentuannya sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama kalam di zamannya.
Wahyu sebagai sistem pengaturan kehidupan manusia merupakan sumber pertama yang melandasi filosofi dalam menentukan kriteria nilai baik dan nilai buruk. Adanya misi Nabi Muhammad Saw dengan landasan wahyu Al Qur’an dan hadist, dimana beliau diutus kemuka bumi sebagai rasul guna mengemban amanah untuk memperbaiki atau menyempurnakan akhlak umat manusia (Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq, HR Bukhari). Ini jelas indikasi bahwa masalah etika dalam kehidupan umat Islam adalah yang dicita-citakan dan dibutuhkan oleh umat manusia dalam pergaulan hidupnya dan dalam sikap dan perilakunya terhadap hidup dan kehidupan bersama dalam mengemban fungsi kehidupan di dunia.
Perintah Allah dalam Al Qur’an memang tidak berhenti hanya pada tataran beribadah secara rutinitas belaka, tetapi juga terkait erat dengan perbuatan-perbuatan baik terhadap sesama manusia dan lingkungan sebagai implementasi dari kesalehan sosial dari umat Islam yang dituntut untuk berlaku baik (beramal shaleh). Di samping itu Islam dengan wahyu Al Qur’an sangat mencela dan melarang atas perilaku yang buruk dan merugikan terhadap diri sendiri, sesama manusia dan lingkugan. Bahkan Allah sangat melaknat terhadap manusia atau kaum yang melakukan kejahatan dan kemungkaran yang membuat bencana kerusakan di muka bumi. Ini. Hak tersebut sesuai dengan Al Qur’an  Surat Muhammad ayat 22 dan 23, Allah berfirman: ‘’ Maka apakah  kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-nya telinga mereka dan dibutakan-nya penglihatan mereka’’.
Dengan demikian, maka etika profesi megacu kepada etika umum, nilai dan moralitas umum. Meliputi: pertama, etika deontologi, etika yang didorong oleh kewajiban untuk berbuat baik dari pihak pelaku, bukan dilihat dari akibat dan tujuan diadakan kegiatan profesi. Kedua, etika teologi diukur dari apa tujuan dilakukan kegiatan profesi. Aktivitas dinilai baik jika bertujuan baik atau diukur dari akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan bagi semua pihak (stakeholder). Ketiga, etika konsekuensialis, etika dalam perilaku yang dilihat dari konsekuensinya terhadap pihak tertentu sebagai akibat dilakukannya suatu kegiatan bisnis, apa saja akibat yang muncul dari kegiatan yang dilakukan. Keempat, etika non-konsekuensialitas, etika yang tidak dilihat konsekuensinya terhadap tindakan yang dilakukan, tapi dilihat dari tujuannya. Apa saja tujuan yang dirumuskan oleh pelaku.
Mudah-mudahan dengan memahi dan melaksakan etika profesi pendidik, guru-guru di Indonesia mampu menjaga mutu profesi, mengembangkan profesi berkelanjutan dan berinovasi dalam pembelajaran. *** Semoga ***.