FILOSOFIS ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DAN REVOLUSI INDUSTRI 4.0 Oleh: Prof. Dr. Endang Komara, M.Si

Abstrak
Social Studies menuntut pengkajian yang terpadu atau terintegrasi, karena misi utama dalam Social Studies adalah untuk membantu mewujudkan good citizenship. Sumber kajian utama konten Social Studies diambil dari Social Science dan Humanities dalam upaya mewujudkan warga negara yang demokratis, terbukanya peluang dalam perbedaan orientasi, maupun metode pembelajarannya. Tujuan utama mata pelajaran Social Studies adalah membantu mengembangkan siswa untuk menjadi warga negara yang memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang memadai untuk berperan serta dalam mewujudkan kehidupan yang demokratis. Pembelajarannya menggunakan cara-cara yang mencerminkan kesadaran pribadi kemasyarakatan, pengalaman budaya serta perkembangan pribadi siswa.  Konsep Revolusi Industri 4.0 pertama kali digunakan di public dalam pameran industry Hannover Messe di kota hannover, Jerman di tahun 2011. Dari peristiwa ini juga sebetulnya ide ‘’industri 2.0’’ dan ‘’industri 3.0’’ baru muncul, sebelumnya Cuma dikenal dengan nama ‘’revolusi Teknologi’’ dan ‘’Revolusi Digital’’. 
Kata kunci: Filosofis, IPS, Revolusi Industri 4.0.

Abstract
Social Studies requires an integrated study, because the main mission in Social Studies is to help realize good citizenship. The main study sources of Social Studies content are taken from Social Science and Humanities in an effort to realize democratic citizens, open opportunities in different orientations, and learning methods. The main objective of Social Studies is to help develop students to become citizens who have adequate knowledge, attitudes and skills to participate in realizing a democratic life. The learning uses ways that reflect the personal awareness of the community, cultural experience and personal development of students. The concept of the Industrial Revolution 4.0 was first used in public at the Hannover Messe industry exhibition in the city of Hannover, Germany in 2011. From this event actually the idea of ​​"industry 2.0" and "industry 3.0" just emerged, previously only known by the name '' technological revolution '' and '' digital revolution ''.
Keywords: Philosophical, IPS, Industrial Revolution 4.0.



I.              PENDAHULUAN
Definisi Social Studies yang pertama kali dikemukakan oleh Edgar Bruce Wesley (dalam Barr, Barth & Shermis, 1978: 1-12), tampaknya tidak berlebihan jika disebutkan sebagai pilar historis. Ia mengemukakan bahwa ‘Social Studies are the Social Sciences Simplified Pedagogical Purpose’’. Maksudnya bahwa Social Studies merupakan ilmu-ilmu social yang bertujuan untuk Pendidikan. Definisi ini kemudian dibakukan dalam The United States of Education’s Standard Terminology for Curriculum and Instruction (Barr, Barth, Shermis, 1978:2) sebagai berikut: ‘’the Social Studies comprised of those aspects of history, economics, political science, sociology, anthropology, psuchology, geography, and philosophy which in practice are selected fpr purposes in school and colleges’’. Dari  penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa: pertama, Social Studies merupakan kajian dari ilmu-ilmu social yang menurut Welton dan Mallan (1988:14) sebagai off springs of the social science. Kedua, kajian itu dikembangkan untuk tujuan-tujuan Pendidikan dan pembelajaran. Ketiga, oleh karena itu aspek-aspek dari masing-masing disiplin ilmu sosial perlu diseleksi. Denga adanya definisi awal Social Studies tersebut tidak dengan serta merta mengalami stabilitas pemahaman yang baik, dan kondisi penuh ketidakmenentuan ini berlangsung sampai puluhan tahun. Baru pada perkembangan tahun 1976-1983 sebagaimana dilaporkan oleh Stanley (1983:310) ‘’ … social sducation has a field of numerous competing definitions and rationales’’. Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh Wesley (Barr, Barth & Shermis, 1976:IV), yang mencatat penggunaan Social Studies sebagai Social Scieneces, Social Service, Social Reform, dan sebagainya. Namun terlepas dari penggunaan istilah tersebut bahwa inti dari Social Studies adalahrelationsships primary between and among human beings. Sedangkan jika dilihat dari visi, misi, dan strateginya menurut Barr, Bart & Shermis (1978:17-19) Social Studies telah dapat dikembangkan ke dalam tiga tradisi, yakni: Pertama, Social Studies Taught as Citizenship Transmission. Kedua, Social Studies Taught as Social Science. Ketiga, Social Studies Taught as Reflective Inquiry. Kemudian jika kita telaah denisi Social Studies sebagai berikut:
‘’Social Studies is an integration of Social Sciences and Humanities for the purpose of instruction in citizenship education. We emphasize ‘integration’ fo social Studies is the only field which deliberately attempts to draw upon, in an integrated fashion, the data of the Social Science and the insights of humanities. The emphasize ‘citizenship’ for Social Studies, despite the defferent in orientation, outlook, purpose, and methods of teachers, is almost universally perceived as preparation for citizenship in a democracy’’ (Barr, Barth & Shermis, 1978:18).
Tampak jelas dari pendapat di atas dapat dikemukakan sebagai berikut: Pertama, Social Studies itu menurut pengkajian yang terpadu atau terintegrasi. Kedua, misi utama dalam Social Stuides adalah untuk membantu mewujudkan good citizenship. Ketiga, sumber kajian utama konten Social Studies diamabil dari Social Sciences dan Humanities. Keempat, dalam upaya mewujudkan warga negara yang demokratis, terbukanya peluang dalam perbedaan orientasi, maupun metode pembelajarannya.
Revolusi Industri 4.0 menggunakan komputer dan robot sebagai dasar kemajuan. Dengan ciri-ciri sebagai berikut: Petama, kemajuan yang paling terasa adalah internet. Semua komputer tersambung ke sebuah jaringan Bersama. Computer juga semakin kecil sehingga bias menjadi sebesar kepalan tangan kita, kita jadi SELALU  tersambung ke jaringan raksasa tersebut. Inilah bagian pertama dari revolusi industry keempat. ‘’Internet of Things’’ saat computer-komputer yang ada di pabrik itu tersambung ke internet. Saat setiap masalah yang ada di  produksi bias langsung diketahui saat itu juga oleh pemilik pabrik, dimanapun si pemiliki berada. Kedua, kemajuan teknologi juga menciptaan 1001 sensor baru, dan 1001 cara untuk memanfaatkan informasi yang didapat dari sendor-sensor tersebut yang merekam segalanya selama 24 jam sehari. Informasi ini bahkan menyangkut  kinerja pegawainya selama berada di dalam pabrik. Dari gerakan tersebut bias terlihat misalnya, kalua pegawai tersebut menghabiskan waktu terlalu banyak di  satu bagian, sehingga bagian tersebut perlu diperbaiki. Masih ada 1001 informasi lainnya yang bias didapat dari 1001-1001 cara meningkatkan produktivitas pabrik yang semula tak terpikirkan. Karena begitu banyaknya ragam maupun jumlah data baru ini, aspek ini sering disebut Big Data. Ketiga, berhubungan dengan yang pertama dan kedua, adalah Cloud Computing. Perhitungan rumit tetap memerlukan computer canggih yang besar, tapi karena sudah terhubung dengan internet, karena ada banyak data yang bisa dikirim melalui internet, semua perhitungan tersebut bias dilakukan di tempat lain, bukannya  di pabrik. Jadi, sebuah perusahaan yang punya 5 (lima) pabrik di 5 (lima) negara berbeda tinggal membeli sebuah supercomputer untuk mengolah data yang diperlukan secara bersamaan untuk kelima pabriknya. Tidak perlu lagi membeli 5 (lima) supercomputer untuk melakukannya secara terpisah. Keempat, ini yang sebetulnya paling besar. Mechine Learning, yaitu mesin yang memiliki kemampuan untuk belajar, yang bias sadar bahwa dirinya melakukan kesalahan sehingga melakukan koreksi yang tepat untuk memperbaiki hasil berikutnya.
  
II.            PEMBAHASAN
Pada tahun 1970-an kehadiran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di tengah-tengah dunia Pendidikan kita, jelas dipengaruhi oleh gerakan-gerakan pembaharuan Pendidikan di Amerika Serikat, ketika IPS sering dihubungkan dengan gerakan-gerakan  The New Social Studies pada Tahun 1970-an (Somantri, 2001:43-44). Jika demikian apa pengertian Social Studies mengemukakan: no single element of the New Social Studies itu? Edwin Fenton yang dipandang sebagai salah seorang pelopor The New Social Studies is really new; each element has an ancient lineage, at least in theory (Fenton, 1966:V). jadi, The New Social Studies di sini menegaskan kembali bahwa hal itu bukan segala-galanya baru. Selanjutnya, ia mengemukakan bahwa yang baru itu adalah pembaruan dalam pembelajarannya, ia mengemukakan bahwa yang baru itu adalah pembaharuan dalam pembelajarannya Social Studies tersebut. Sebagaimana dikatakan: ‘’it will involve three clusters of objectives; attitudes and values, the use of mode of inquiry involving the development and validation of hypothesis and variety of knowledge objectives (Fenton, 1966:V).
Dengan demikian, New Social Studies menegaskan kembali tujuan Pendidikan dan pembelajaran yang menimbulkan implikasi terhadap pemilihan metode maupun strategi pembelajarannya. Ketiga tujuan Social Studies tersebut, jika dikategorikan menurut Taxonomy Bloom, antara lain: cognitive, affective, dan psychomotor. Usul perubahan materi pelajaran tersebut didasarkan pada tiga kriteria, yakni: Pertama, kebutuhan dan minat anak. Kedua, masalah-masalah social kontemporer. Ketiga, materi ilmu pengetahuan yang penting dan relevan yang diambil dari ilmu-ilmu social. Sejalan dengan pemikiran tersebut Edgar Weshley dan Wironski merndefinisikan Social Studies sebagai berikut: the Social Studies are the Social Sciences simplified for pedagogical purposes (Weshley & Wronski, 1958:43). Predikat ‘are’ dalam batasan ini menunjukkan kesendirian dari masing-masing disiplin ilmu sosial. Definisi tersebut tidak mencerminkan adanya usaha pengkorelasian, apalagi pengintegrasian ilmu-ilmu sosial. Dari penjelasan tersebut, yang memperoleh penegasan adalah adanya usaha penyederhanaan dari tiap-tiap disiplin ilmu sosial untuk tujuan Pendidikan. Segera dapat kita pahami bahwa ‘penyederhanaan’ sangat diperlukan atas dasar pertimbangan psikologis, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan tingkat kematangan dan perkembangan intelektual anak didik. Dalam hal ini, Richard Gross memberi Batasan Social Studies yang lebih luas dan lebih terperinci dari Batasan tersebut, yakni: the Social Studies are those studies that provide understanding of man’s way of living, of the basic needs of men, of the activities in which he engages to meet his needs, and the institutions he has developed (Gross, 1958:23). Berdasarkan penjelasan tersebut, Social Studies dipandang sebagai studi atau pengkajian atau pembelajaran yang berusaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan pengertian-pengertian atau pemahaman anak didik mengenai berbagai aspek kehidupan di seputar anak didik itu sendiri yang menckaup lingkungan fisik dan sosialnya.
Dalam kajian Social Studies Taught as Citizenship Transmision merujuk pada pembelajaran social yang bertujuan untuk megembangkan warga negara yang baik dengan ditandai oleh conform accepted practice hold particular beliefs, is loyal to certain values, participates in certain activities, and conform to norms which are often local in character (Barr, Barth & Shermis, 1978:22). Oleh karena itu, pengembangan nilaia patriotism, nasionalisme, cinta tanah air, loyalitas pada negara dan bangsa, serta menegakkan nilai-nilai yang demokratis menjadi tujuan pembelajaran.
Berbeda dengan tradisi Social Studies Taught as Citizenship Transmision, Social Studies Taught Social Science merupakan modus pembelajaran social yang juga mengembangkan karakter warga negara yang baik, yang ditandai oleh penguasaan berpikir keilmuan secara aoptimal sebagaimana pengembangan prinsip-prinsip dalam pembelajaran filosofi esensialisme. Sedangkan dalam pengembangan Social Studies Taught as Reflective Inquiry merupakan model pembelajaran yang memusatkan pada pengembangan karakter bangsa dengan dibekali kemampuan mengambil keputusan yang tepat dalam menghadapi tantangan.
Seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, revolusi industry 4.0 telah mendoronginovasi teknologi yang memberikan dampak disrupsi atau perubahan fundamental terhadap kehidupan masyarakat. Perubahan-perubahan tak terduga menjadi fenomena yang akan sering muncul pada era revolusi industry 4.0.
Kita menyaksikan pertarungan antara taksi konvensional  versus taksi  online atau ojek pangkalan versus ojek online. Public tidak pernah menduga sebelumnya bhawa ojek/taksi yang popular dimanfaatkan masyarakat untuk kepentingan mobilitas manusia berhasil ditingkatkan kemanfaatannya dengan system aplikasi berbasis internet. Dampaknya, public menjadi lebih mudah untuk mendapatkan layanan transportasi dan bahkan dengan harga yang sangat terjangkau.
Yang lebih tidak terduga, layanan ojek online tidak sebatas sebagai alat transportasi alternative tetapi juga merambah hingga bisnis layanan antar ionline delivery order). Dengan kata lain, teknologi online telah membawa perubahan yang besar terhadap peradaban manusia dan ekonomi. Menurut Prof Rhenald Kasali (2017) disrupsi tidak hanya bermakna fenomena perubahan hari ini (today change) tetapi juga mencerminkan makna fenomena perubahan hari esok (the future change). Prof Clayton M. Christensen, ahli administrasi bisnis dari Harvard Busines School, menjelaskan bahwa era disrupsi telah mengganggu ataua merusak pasar-pasar yang telah ada sebelumnya tetapi juga mendorong pengembangan produk atau layanan yang tidak terduga pasar sebelumnya, menciptakan konsumen yang beragam dan berdampak terhadap harga yang semakin murah (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/inovasi_disruptif. Dengan demikian, era disrupsi akan terus melahirkan perubahan-perubahan yang signifikan untuk merespons tuntutan dan kebutuhan konsumsinya di masa yang akan datang.
Perubahan di era disrups menurut Prof Kasali (2017) pada hakikatnya tidak hanya berada pada perubahan cara atau strategi tetapi juga pada aspek fundamental bisnis. Domain era  disrupsi merambah sari mulau struktur biaya, budaya hingga pada ideologi industry. Implikasinya, pengelolaan bisnis tidak lagi berpusat  pada kepemilikan individual, tetapi menjadi pembagian peran atau kolaborasi ataua gotong royong. Di dalam dunia perguruan tinggi, fenomena disrupsi ini dapat kita lihat dari berkembangnya riset-riset kolabirasi antar peneliti dari berbagai disipin ilmu dan perguruan tinggi. Riset tidak lagi berorientasi pada penyelsaian masalah (problem solving) tetapi didorong untuk menemukan potensi masalah maupun potensi nilai ekonomi yang dapat membantu masyarakat untuk mengantisipasi berbagai masalah sosial, ekonomi dan politik di masa depan.
  
III.          PENUTUP
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
A.   Pengembangan civic competence merupakan esensi tujuan utama Socisl Studies. Program  Social Studies dalam dunia Pendidikan mulai Taman Kanak-Kanak sampai Pendidikan Menengah (SMA) ditandai oleh keterpaduan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Program Social Studies dititikberatkan pada upaya siswa untuk mengkontruksi pengetahuan baru, dalam arti siswa harus secara aktif membentuk pengetahuannya sendiri melalui bimbingan guru secara kontruktivis. Program pengetahuan Social Studies harus dilihat sebagai pengetahuan yang tidak terkotak-kotak, melainkan terpadu yang menuntut pelibatan siswa dari berbagai disiplin ilmu.
B.   Era revolusi industry 4.0 menyediakan peluanag sekaligus tantangan bagi perguruan tinggi. Peran manusia setahap demi setahap diambil alih oleh mesin otomatis. Akibatnya, jumlah pengangguran semakin meningkat. Hal ini tentu saja akan menambah beban masalah local maupun nasional.oleh karena itu untuk memanfaatkana peluang  dan menjawab tantangan revolusi industry 4.0 harus memiliki kemampuan literasi data, teknologi dan manusia literasi data dibutuhkan untuk menigkatkan skill dalam mengolah dan menganalisis data untuk kepentingannpeningkatan layanan public dan bisnis. Literasi teknologi menunjukkan kemampuan untuk memanfaatkan teknologi digital guna mengolah data dan informasi. Sedangkan literasi manusia wajib dikuasai karena menunjukkan elemen softskill atau pengembangan karakter individu untuk bias  berkolaborasi , adaptif dan menjadi arif di era banjir informasi.  






DAFTAR PUSTAKA


Barr, R.D., J. L. Barth, dan S.S. Shermis, 1978. The Nature of the Social Studies. Palm Spring: An ETP Publications.

Fenton, Edwin. 1967. ‘’A Structure of History’’. Dalam Irving Morrisett (Ed). Concept and Structure in the New Social Sciences Curricular: New York: Holt Rinehart dan Winston.

Kasali, Rhenald. 2018. Self Disruption: Bagaimana Perusahaan Keluar dari Perangkap Masa Lalu dan Mendisrupsi Dirinya Menjadi Perusahaan yang Sehat. Jakarta: Mizan.

Stanley, W.B. 1983. Review of Research in Social Studies Education: 1976-1983. Washington: NCSS.

Somantri, Numan. 2001. ‘’Pengertian dan Tujuan Pendidikan IPS di Indonesia’’. Dalam Dedi Supriadi dan Rohmat Mulyana (Ed). Prof Numan Somantri: Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Rosda Karya.

Weshley, E.B. dan S.P.  Wronski. 1958. Teaching Social Studies in High School. Boston: D.C. Health. 

Welton, D. A. 1988. “Social Studies and the Human Experience: The Disciplinary Foundations’’. Dalam UNICEF. Children and Their World. Geneva: UNICEF.