MENELUSURI KEBENARAN – METODE ILMIAH DAN PARADIGMA RISET KEPENDIDIKAN Oleh: Dr. Hj. Komala Nurmalina, M.Pd. Prof Dr Endang Komara, M.Si JURUSAN PMPKN – FPIPS UPI BANDUNG 2016
BAB I
KEBENARAN ILMIAH
A. Kebenaran sebagai Masalah Filsafat
Filsafat berasal dari kata Yunani ‘’philosophia’’ yang artinya cinta kepada hikmah. Orang yang cinta kepada himah selalu mencari kebenaran dengan mempergunakan logikanya. Filsafat mencoba memahami seluruh semesta yang ada sebagai suatu sistem kesatuan, apa maknanya, apa hakekatnya, apa kedudukan manusia dalam alam semesta ini, apa tujuan hidupnya. Tujuannya adalah memahaminya serta mencari hikmah atau kebenaran (wisdom). Manusia mencari jawab terhadap berbagai pertanyaan yang mendalam, terdorong oleh keinginan mencari kebenaran. Alatnya ialah logika dan sering dibantu oleh intuisi yaitu rasa kebenaran yang terdapat dalam hati manusia. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa filsafat ialah cara berfikir (dengan) bijaksana dalam mencari dan menemukan kebenaran.
Immanuel Kant menyederhanakan pokok persoalan filsafat ke dalam empat pertanyaan utama yaitu: (1) apa yang dapat saya harapkan (“what may I hope”)?; (2) apa yang dapat saya ketahui (‘’what can I know’’)?; (3) apa yang seyogyanya saya lakukan (‘’what should I do’’); dan (4) apakah/siapakah manusia itu (‘’what is man’’)?. Pertanyaan pertama berkenaan dengan metafisika, yang kedua epistemology, yang ketiga etika dan estetika, dan yang keempat filsafat antropologi.
Karya tulis ini berkenaan dengan pertanyaan kedua, yaitu epistemology (episteme = pengetahuan). Secara garfiah epistemology biasanya diartikan sebagai ‘’filsafat’’ pengetahuan atau lebih tepat, ‘’filsafat tentang pengetahuan’’. Di dalamnya tercakup berbagai teori tentang pengetahuan (theories of knowledge). Yang menjadi pokok persoalannya adalah masalah benar dan salah (true not true), dan bukan soal baik-buruk atau indah-jelek seperti dbahas etika dan estetika, juga bukan soal tujuan hidup seperti yang dikupas dalam ontology.
Mempersoalkan ‘’benar-salah’’ berarti mempertanyakan tiga hal, yaitu; (1) apakah sumber pengetahuan itu?; (2) apakah hakikat pengetahuan itu?; dan (3) bagaimanakah validitas pengetahuan itu dan bagaimana mengujinya?.
Untuk ketiga pertanyaan di atas, banyak aliran filsafat mengemukakan pandangannya yang berbeda-beda. Nama-nama aliran fisafat sangat beragam, tergantung pada cara mengklarifikasinya. Misalnya, empirisme, rasionalisme, idealism, materialism, pragmatism, eksistensialisme, ralisme, positivism, komodisme, skeptisisme, emergentisme, dan banyak lagi yang masing-masing saling bertumpang tindih. Beragamnya aliran filsafat (ilmu/pengetahuan) ini menunjukkan bahwa cara mereka mamahami sumber, hakikat, dan kesohehan pengetahuan tergantung kepada aliran yang digunakannya.
Dari situ, istilah ‘pengetahuan’ (knowledge) banyak digunakan, dan bukan ‘ilmu’ (science). Sebenarnya sulit didapat padanan kata yang tepat dalam bahasa Inggris untuk kata ‘ilmu’ tanpa konotasi yang khusus. Science misalnya, kerapkali rancu pengertiannya dalam bahasa Indonesia karena konotasinya seringkali hanya dikenakan pada natural science (biologi, fisika, kimia, dan matematika sebagai alatnya). Padahal dalam istilah science termasuk juga social science. Namun untuk praktisnya, ‘ILMU’ dalam penulisan ini diidentikkan dengan science.
Apa yang disebut ‘ilmu’ dan ‘pengetahuan’ sesungguhnya memiliki arti yang relative berbeda. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang telah memiliki sistematika tertentu. Menurut rumusan Like Wilardjo (1987), ilmu adalah species dari genus yang disebut pengetahuan. Bila definisi ini diterima (karena ada definiisi lain yang berbeda dengan definisi ini, misalnya dari Aristoteles dan van Peurseun), maka semua ilmua pastilah terdiri atas pengetahuan-pengetahuan, namun demikian tidak semua pengetahuan adalah ilmu.
Apa yang disebut ilmu memiliki ciri-ciri dan stadar-standar tertetu sebagai ghasil consensus para ilmuwan. Ada semacam ’’criteria of demarcation’’ (istilah dari Karl Popper) antara pengetahuan yang (telah) berstatus ilmu dengan pengetahuan yang semata-mata hanya pengetahuan seperti akal lumrah (coomon sense). Kriteria demarkasi itu antara lain: ‘’obyektivitas’’ yaitu ada pokok persoalan tertentu yang menjadi obyek studi (fomal dan materil); memiliki sistematika content dan area of studi; terbuka, dalam arti dapat dijelaskan secara ilmiah; ada metodologi atau disciplined inquiry; dan memiliki terminology-terminologi standar. Dalam suatu bangun keilmuan, logika rasional dan empiri (pengalaman) yang menyangkut fakta, memegang peranan penting. Dapat dipahami bila definisi suatu disiplin ilmu selalu dimulai dengan ‘’a systematic body of knowledge …’’
Untuk memperoleh pemahaman tentang istilah ‘ilmu’ dan ‘pengetahuan’ seperti di ketengahkan di atas memang tidak selalu memuaskan, apalagi kalau tersangkut soal semantika. Ensiklopedia filsafat (Edwards, 1967, vol. 4; 345) misalnya mendefiniskan knowledge sebagai ‘’justified true belief’’. Artinya, kita hanya dapat memiliki pengetahuan tentang apa yang benar. (Dedi Supriadi, 1987, h.3). Tetapi apa yang kita yakini sebagai benar saja, tanpa bisa dijustifikasikan, tidak bisa disebut knowledge.
Dengan menggunakan penjelasan dari Ensiklopedia tersebut timbul komplikasi dalam menarik garis demarkasi antara apa yang layak disebut pengetahuan dan apa yang bukan. Jika penjelasan itu diterima, selanjutnya muncul pertanyaan, yaitu; bagaimana kita menjustifikasikan kebenaran keyakinan kita? Apakah setiap keyakinan harus dijustifikasikan dulu sebelum layak disebut ilmu? Bagaimanakah pula kedudukan pengetahuan doktriner seperti dalam agama yang harus diterima melalui iman. (Sekalipun pertanyaan ini dianggap kurang relevan untuk dilontarkan dalam konteks ini, namun betapapun ia merupakan implikasi dari batasan pengetahuan menurut/versi Ensiklopedia tadi). Apakah juga filsafat yang mengandalkan hasil pemikiran rasional dan spekulatif bisa disebut pengetahuan? Dapatkah dibenarkan justifikasi yang semata-mata didasarkan atas hasil renungan-renungan filosofis tanpa dihadapkan pada fakta empirik?.
Begitulah dalam dunia filsafat, setiap usaha untuk mendefinisikan suatu terminology selalu dihadapkan pada komplikasi. Penulia (dari makalah ini) berpendapat bahwa apa yang disebut ‘’knowledge’’ dalam versi Ensiklopedia filsafat itu menunjuk pada pengertian ‘ilmu’ seperti ditulis di atas yaitu sejauh ‘’justified true belief’’ sudah memenuhi standar-standar kelilmuan. Bagaimanapun ilmu dan pengetahuan didefinisikan, dalam konteks epistemology persoalan mendasar yang dihadapinya adalah soal kebenaran (truth). Karena kebenaran ilmu/pengetahuan, maka yang dipermasalahkan di sini adalah kebenaran keilmuan/ilmiah (scientific truth) yang akan diketengahkan di bawah ini.
2. Kontroversi menyangkut Kebenaran Ilmiah
Sebagaimana diketenaghkan latar belakang dunia filsafat, demikian implikasinya, bahwa terminology kunci yang juga kerapkali penuh dengan komplikasi adalah menyangkut ‘’kebenaran’’. Apakah kebenaran itu? Bagaimanakah kita sampai pada kebenaran? Mengapa sesuatu bisa dianggap benar dan yang lainnya tidak? Bagaimanakah kebenaran diuji validitasnya?
Seperti ditulis oleh Lincoln & Guba, ‘’The concept of truth is an elusive one’’ (Lincoln & Guba, 1981, h. 14). Mereka mengutip kajian Julienne Ford dalam Paradigma and Fairy Tales (1975) yang mengemukakan bahwa istilah ‘kebenaran’ bisa memiliki empat arti yang berbeda-beda yang ia simbolkan dengan T1, T2, T3, dan T4. Kebenaran pertama (T1) adalah kebenaran metafisik. Kebenaran ini tidak bisa diuji benar tidaknya (justifikasi, falsifikasi) berdasarkan nroma-norma eksternal seperti kesesuaian dengan alam, logika – deduktif, atau standar-standar professional. Kebenaran itu merupakan kebenaran yang paling mendasar dan puncak dari seluruh kebenaran (basic, ultimate truth), karena itu harus diterima apa adanya (‘’taken for granted’’) sebagai given. Kebenaran iman dan doktrin-doktrin absolut agama termasuk di dalamnya.
Kebenaran kedua (T2) adalah kebenaran etik yang menunjuk pada perangkat standar moral atau profesional tentang perilaku yang pantas dilakukan. Seseorang dikatakan benar secara etik bila ia berperilaku sesuai dengan standar perilaku itu (T2) bisa dari (T1) atau dari norma –norma social budaya suatu lingkup masyarakat atau komunitas profesi tertentu. Kebenaran ini ada yang mutlak (memenuhi standar etika universal) dan ada pula yang relatif.
Kebenaran ketiga (T3) adalah kebenaran logis. Sesuatu dianggap benar apabila secara logis atau matematis konsisten dan koheren dengan apa yang telah diakui sebagai benar (dalam pengertian (T3) atau sesuai dengan apa yang benar menurut dasar kepercayaan metafisik (T1). Aksioma matematika yang menyatakan bahwa sudut-sudut segitiga sama sisi masing-masing adalah 60o, atau 1+1 = 2, adalah contoh dari kebenaran logis. Peranan rasio atau logika sangat dominan dalam T3. Meskipun demikian, seperti halnya pada sebagian T2, kebenaran ini tidak lepas dari hasil consensus orang-orang terlibat di dalamnya. Bahkan 1+1 = 2 pun pada dasarnya adalah hasil consensus. Mengapa tidak 1+1 = 3? (dalam system bilangan hexadecimal, memang 1+1≠ 2). Mengapa pula jumlah semua sudut segitiga harus 180o, tidak 300o?.
Kebenaran keempat (T4) adalah kebenaran empiric yang menjadi tradisi kerja para ilmuwan. Sesuatu (kepercayaan, asumsi, dalil, hipotesis, proposisi) dianggap benar apabila konsisten dengan kenyataan alam, dalam arti dapat diverifikasi, dan (meminjam istilah popper) ‘tahan terhadap falsifikasi/kritik’. Dalam hal ini, korespondensi antara teori dengan fakta, antara pengetahuan a priori dengan a posteori (menurut rumusan kant) menjadi persoalan utama.
Dari keempat jenis kebenaran menurut Ford tadi, penulisan makalh ini lebih memusatkan perhatiannya pada kebenaran empiric (T4) yang disebut kebenaran keilmuan/ilmiah. Akan tetapi tentu saja, tanpa mengesampingkan kaitan kebenaran ini dengan tiga kebenaran lainnya, khususnya dengan T2 dan T3.
Untuk selanjutnya focus kajian diarahkan pada fakta atau realitas social-psikologis kependidikan sebagai suatu obyek riset keilmuan.
Dalam konteks kebenaran ilmiah yang melibatkan subyek (manusia, knower, observer) dengan obyek (fakta, realitas, known), ada tiga teori utama tentang kebenaran, yaitu teori korespondensi, koherensi, dan pragmatism. Teori korespondensi menyatakan bahwa kebenaran tersimpul dalam relasi interaksional antara ‘’aku’’ (knower) dengan ‘’engkau’’ (known), antara teori dengan fakta empirik. Motto teori ini adalah, ‘’truth is fidelity to obyektive reality’’. Di sini, dasar filsafat realism, empirisme, dan idealism mendapatkan tempat sekaligus. Implikasi dari teori ini adalah bahwa hakikat pencarian kebenaran ilmiah tidak lain dari seringkali usaha untuk mencari relasi yang konsisten antara subyek dengan obyek, atau antara obyek dengan obyek berdasar perspektif subyek. Teori ini erat kaitannya dengan kebenaran empiric (T4 ) menurut versi Ford.
Teori koherensi menganggap bahwa sesuatu benar apabila ada koherensi/konsistensi, dalam arti tidak kontradiktif pada saat bersamaan, natar dua atau lebih logika. Tidak ada salah dan benar yang terjadi sekaligus, melainkan keduanya bersifat mutually exclusive dalam logika. Sumber kebenaran menurut teori ini adalah logika (manusia) yang secara inheren adalah memiliki koherensi. Kebenaran logis mendahului kebenaran empiris. Fisafat idealism menjadi acuan teori ini. Dikaitkan dengan klasifikasi Ford, teori koheensi menunjuk pada kebenaran logis (T3).
Teori pragmatisme berpandangan bahwa kebenaran tersimpul pada sejauh manakah sesuatu fungsional bagi kehidupan manusia. Kebenaran yag sesungguhnya tidak akan pernah dicapai manusia (skeptisisme), dan daripada susah mencari kebenaran hakiki, lebih baik dilihat gunanya (utilitarianisme) dalam kehidupan duniawi (materialism, empirisme). Alur pemikiran pragmatism tampak sejalan dengan pemikiran-pemikiran filsafat di atas yaitu skeptisme. Tetapi dalam hal ke-Tuhanan, pragmatism cenderung skeptic dan bahkan agnotisme. Penekanan pada nilai guna dalam kehidupan duniawi, tanpa memandang nilai-nilai intsrinsiknya, kerapkali menjerumuskan penganut teori ini pada perilaku-perilaku yang Machiavelis, yakni menghalalkan segala cara (‘’the end justifies the means’’). Karena posisi pragmatisme yang ada di tengah titik singgung banyak aliran filsafat, ada yang mengibaratkannya seperti koridor di sebuah hotel yang meng-antarai kamar-kamar.
Sekalipun berpegang secara konsisten pada relasi antara knower dengan known dalam menghampiri rumusan kebenaran, rumusan yang memuaskan tetap saja sulit dicapai. Kendatipun demikian, dalam hal ini penulis (dari makalah ini) pada pendirian teori korespondensi bahwa kebenaran tersimpul dalam relasi timbal-balik antara knower dengan known, antara subyek dengan obyek, antara teori dengan pengamatan empiris. Artinya, sesuatu layak disebut benar bila pengetahuan kita tentang sesuatu sesuai dengan fakta atau realitas (‘obyektif’) yang diselami melalui empiri atau pengalaman langsung.
Menurut pandangan Phenix (1964), bahw kebenaran tersimpul pada kbermaknaan (meaningfulness) sesuatu yang berbeda-beda menurut dunia atau bidangnya (realism). Ia mengurut enam jenis dunia makna (realism of meaning) yang masing-masing distingtif disbanding yang lainnya, bentuk-bentuk simbolik (bahasa seharian, matematika, bentuk-bentuk simbolik nondiskursif); maka empirik (ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu kehidupan, psikologi, ilmu-ilmu sosial); maka estetik (music, seni visual, seni gerak, kesusastraan); makna sineotik (filsafat, psikologi, kesusastraan, agama, dalam aspek-aspek eksistensialnya); makna etik (hal-hal yang berkenaan dengan norma-norma moral); dan makna sinoptik (sejarah, agama, dan filsafat). Pada keenam makna ini, kebenaran ilmiah tersimpul terutama pada makna dunia empirik. Dunia makna empirik ini bersinggungan dengan dunia makna yang lainnya.
Pertanyaan yang muncul sehubungan dengan judul ini ialah apakah pengalaman atau empiri itu? Apakah pula realitas itu? Apa hubungannya dengan fakta dan data?
Pada intinya, pengalaman adalah keterlibatan subyek atau obyek; dalam arti, knowertidak hanya berdiri di luar known, melainkan terjun ke dalamnya. Keterlibatan bisa langsung (seperti mengumpulkan data lapangan) atau tidak langsung (melalui sumber-sumber sekunder). Fakta adalah segala sesuatu yang ada di sekeliling kita yang dapat kita lihat, dengar, cium dan rasakan keberadaannya (Goldstein & Goldstein, 1980:12). Data, di pihak lain, menunjuk pada fakta yang telah dikumpulkan (oleh peneliti atau siapa saja yang membutuhkannya), baik berupa informasi kualitatif (soft data) maupun kuantitatif (hard data). Data baru aka nada artinya apabila telah diorganisasikan dan ditafsirkan. Data tidak akan ‘’berbicara’’ sendiri, tanpa ditafsirkan oleh subyek. Salah kaprah pernyataan yang mengatakan bahwa ‘’fakta atau data akan berbicara sendiri’’.
Jadi, betapapun obyektifnya cara yang digunakan untuk memahami dan mengumpulkan data, interpretasi subyeklah pada akhirnya yang menentukan. Interpretasi diwarnai oleh latar belakang pengalaman dan kepentingan pengamat, yang oleh Thomas Kuhn disebut paradigm. Secara sederhana, paradigm diartikan sebagai ‘’the way we look at the world’’. Sampai di sini, juga menjadi nyata bahwa apa yang disebut obyektivitas dalam dunia pengamatan empiris, sebenarnya hanya mitos, selama subyek itulah yang menatapnya. Sebagai contoh tentang data statistic, Douglas (Dove, 1982) mengemukakan bahwa statistic (angka-angka hasil pengukuran atau perhitungan) bukanlah sepenuhnya fakta, melainkan hasil interpretasi atau fakta.
Persoalan tersebut menjadi semakin menarik dan pelik apabila dikaji menggunakan istilah ‘’melainkan’’ (reality). Berger & Luckmann (1967:1) mengartikan realitas sebagai ‘’ a quality appertaining to phenome that we recognize as having a being independent of our own volition (we cannot ‘’wish them a way’’). Rumusan ini menyebut independensi being tetapi hal itu tidak berarti ia lepas sam sekali dari interpretasi kita. Bahkan Berger & Luckman menunjuk justru realitas subyektif itulah yang melingkupi dunia ini, dalam kehidupan social, seperti tercermin dalam judul bukunya, ‘’The Social Construction of Reality’’.
Realitas tidak selalu mengimplikasikan bahwa apa yang kita ketahui itu adalah benar-benar nyata sesuai dengan wujudnya yang dapat diindera. Kontroversi mengenai kebenaran ilmiah kembali muncul dari cara seseorang mendefinisikan realitas, mengingat realitas merupakan fenomena yang menjadi dasar dan data dalam studi-studi ilmiah.
Dalam The Emergent Paradigms: Changing Patterns of Thought and Beliefs, Schwartz & Ogilvy (Lincoln & Guba, 1985) mengemukakan bahwa konsep realitas berkaitan erat dengan perspektif. Dikemukakan bahwa proses mental, instrument, dan bahkan disiplin yang kita pegang tidaklah netral dalam upaya kita mengangkat realitas dunia. Oleh karena itu, obyektivitas merupakan suatu ilusi. Tetapi istilah subyektivitas dianggapnya kurang memadai untuk melukiskan cara kita memandang dunia secara tidak netral itu. Sebagai alternatif, keduanya menggunakan istilah perspektif. Dikemukakan sebagai berikut:
We suggest that perspective is a more useful concept. Perspective connotes a view at a distance from a particular focus. Where we look from affects what we see. This means that any one focus of observation gives only a partial result; no single discipline ever gives us a complete picture. A whole picture is an image creatied morphogenetically from multiple perspectives. (Lincoln & Guba, 1985:55; atau dalam Dedi Supriadi, 1987:12).
Dengan menggunakan perspektif yang berbeda-beda, para ilmuwan akan sampai pada realitas yang berbeda-beda pula sejauh mereka tangkap. Karena itu Schwartz & Ogilvy menawarkan konsep ‘’perspectif ganda’’ (multiple perspectives) untuk melukiskan cara pandang yang beragam itu. Akibatnya, apa yang disebut ultimate reality atau objective reality (seperti secara arogan diklaim oleh kalangan positivist) tidak akan pernah tercapai, meskipun mungkin hal itu ada.
Sebagai contoh, seniman (lukis, syair), ilmuwan (ekonomi, sosiologi, pendidikan, geografi, biologi, astronomi), wartawan, pejabat departemen social, dan pedagang asongan akan memberi tafsiran yang berbeda-beda terhadap peristiwa bencana alam ‘’Tsunami’’ (angin topan dan banjir laut, yang pernah terjadi di daerah Jawa Timur, Aceh, Pangandaran Jawa Barat), tergantung atas perspektif yang digunakannya yang diwarnai oleh pengalaman dan kepetingannya. Manakah yang benar? Pertanyaan ini sulit dijawab tanpa menimbulkan pertanyaan lanjutan, apa yang dimaksud benar? Manakah pula yang paling obyektif? Ini pun susah untuk dijawab, apabila obyektivitas didefinisikan secara konvensional seperti di atas. Dalam takaran persepktif masing-masing pengamat, yang obyektif adalah apa yang mereka pandang, amati, simpulkan dan beri makna. Dengan kata lain, realitas dikonstruksikan secara subyektif oleh subyek. Intersubyektivitas menunjuk pada adanya titik pertemuan antara realitas yang ditangkap oleh kelompok individu.
Berkaitan dengan rumusan di atas, Lincoln & Guba (1985) mengajukan empat pandangan tentang hakikat realitas. Pertama, realitas obyektif (obyective reality) yang mewakili pandangan realism naïf. Menurut pandangan ini, apa yang disebut realitas nyata itu benar-benar ada, dan pengalaman langsung dapat menjangkau realitas obyektif tersebut, baik realitas fisik, social, maupun temporal. Kedua, realitas yang dipersepsi (perceived reality). Dikemukakan bahwa realitas yang sesungguhnya itu ada, tetai seseorang tidak akan mampu mengetahuinya secara penuh. Realitas hanya dapat ditangkap dan diapresiasi berdasarkan sudut pandang tertentu yang disebut persepsi. Seperti dalam cerita orang-orang buta dan gajah, persepsi berisfat parsil dan tak lengkap; setiap orang memiliki persepsi masing-masing yang berbeda-beda. Ketiga, realitas yang dikontruksikan (constructed reality). Pandangan ini berpendirian bahwa, adalah tidak jelas apakah realitas ada atau tidak. Kalaupun ada, kita tidak akan pernah dapat mengetahuinya. Yang dapat diketahui dan dijangkau oleh manusia adalah konstruksi fikiran dan perasaan yang jumlahnya tak terhinggga yang disebut ‘realitas ganda’. Sesuatu berbeda bagi individu yang berlainan, meskipun dalam sejumlah hal mereka memiliki persamaan. Konsep demikian digunakan oleh Berger & Luckman (1967), Lincoln & Guba (1985), Max Weber, serta para peneliti kualitatif, naturalistic, verstehen dan yang sejenisnya. Keempat, realitas yang dibuat atau diciptakan (created reality). Pandangan ontologis ini berpendirian bahwa sa sekali taka da yang disebut realitas hakiki. Realitas yang ada hanyalah apa yang diciptakan oleh manusia, dan itu disebut realitas karena manusa menyebutnya demikian.
Keempat pandangan tentang realitas seperti dsebutkan di atas kembali menunjukkan bahwa upaya mencai dan merumuskan kebenaran ilmiah amatlah sulit. Tidak ada orang atau pihak yang dapat mengaku yang paling benar dalam mencari kebenaran ilmiah tanpa harus berhadapan dengan pengecualian-pengecualian da keberatan dari pihak lain. Hal itu akan berimplikasi pada cara atau metode yang kita gunakan untuk sampai pada kebenaran ilmiah itu, yang diketengahkan dalam Bab II.
BAB II
METODE ILMIAH
Seperti telah dikemukakan melalui bahasan pada bab sebelumnya mengenai beragamnya rumusan perihal kebenaran ilmiah/kelimuan. Terlepas dari sulit dicapainya suatu rumusan yang memuaskan. Ikhitiar-ikhtiar ilmiah seharusnya tetap memiliki komitmen kuat pada usaha mencari kebenaran tersebut. Dikemukakan oleh Triggs (1985:109) bahwa justeru nilai utama ilmu berakar pada kebenaran itu. Seluruh usaha keilmuan haruslah diarahkan ke sana. Ilmu yang tidak demikian berarti mengingkari statusnya sebagai ilmu, dan ilmuwan yang terlibat di dalamnya telah mengingkari komitmen ilmiahnya. Di sinilah uniknya pergulatan ilmu dan para ilmuwannya. Sementara kontroversi tentang kebenaran berlanjut tanpa ujung, bahkan sejak lahirnya tradisi keilmuan di dunia, ilmu harus tetap mencarinyya. Sebab hanya dengan kebefnaran itu ilmu tetap berstatus ilmu. Melepas komitmen pada kebenaran berarti melepas ‘’kartu terakhir’’ yang dimiliki ilmu.
Upaya mencari kebenaran ilmiah menyangkut persoalan metodologis; dalam arti metode-metode yang digunakan untuk mencar kebenaran itu. Masalahnya, apakah yang disebut ‘ilmiah’ atau ‘keilmuan’ (scientific) itu? Bagaimanakah orang bisa sampai pada kebenaran ilmiah? Langkah-langkah metodologis apakah yan harus ditempuh? Atau, apakah suatu rumusan definitive yang harus diikuti pada ilmuwan untuk dapat menemukan kebenaran ilmiah? Bagaimanakah halnya dengan arti ‘metode ilmiah’ seperti secara luas dikenal? Tanpa mengikuti urutan pertanyaan yang memang tumpah-tindih di atas, selanjutnya akan diketengahkan tentang metode ilmiah, yang akan didahului dengan menelusuri pengertian istilah-istilah ilmu.
A. Pengeratian Ilmu
Pada bagian Bab I telah dibentangkan tentang perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan. Masalah yang dipersoalkan pada bagian ini adalah, apakah ilmu itu? Pengeratian ini sangat diperlukan karena terkait langsung dengan arti istilah ‘ilmiah’ atau ‘keilmuan’ yang merupakan kata sifat dari ‘ilmu’ (science).
Menurut Goldstein & Goldstein (1980) mengemukakan berbagai pengertian tentang science, Pertama, ada yang mengartikannya secara sempit, hanya menunjuk pada ilmu-ilmu eksakta (exact science) seperti fisika, kimia, biologi, astronomi, geologi, dan matematika sebagai alatnya (atau organon, kata Aristoteles). Ilmu-ilmu ini ditandai oleh hokum-hukum generalitas yang ketat dan lingkupnya yang luas. Dari hukum-hukum itu, peramalan-peramalan yang tepat (precise) dalam bentuk angka-angka dapat dibuat. Definisi ilmu ini menunjukkan arogansi ilmuwan tertentu yang ‘mabuk’ oleh ilusi bahwa kriteria utama ilmu adalah daya ramalnya yang akurat dan dibuat atas dasar data kuantitatif. Konsekuensi dari definisi ini adalah bahwa ilmu-ilmu noneksakta baru boleh disebut ilmu (tanpa tanda petik) apabila mampu mengajukan hokum-hukum dengan generalitas atau lingkup yang luas, sehingga mampu mengemukakan prediksi-prediksi dengan validitas yang tinggi. Tentu saja ilmu-ilmu social dan keperilakuan tidak bisa demikian, mengingat fenomena yang dihadapinya tidak setetap pada ilmu-ilmu kealaman. Bila kriteria ‘’laws of great generality’’ dan ‘’accurate predictive power’’ dijadikan dasar pendefinisian ilmu, maka tidak ada ilmu-ilmu social dan keperlakuan yang mampu memenuhi kriteria itu; jadi tidak disebut ilmu. Hukum-hukum dalam psikologi dan sosiologi, misalnya, memiliki lingkup yang terbatas dan kurang pasti daya ramalnya disbanding dengan fisika, kimia atau biologi.
Kedua, istilah ilmu mengimplikasikan kemampuan untuk melakukan eksperimen terkontrol dalam rangka menguji teori-teori atau hiptesis-hipotesis. Eksperimen terkontrol dalam (controlled experiment) selalu mengandalkan diri pada situasi yang dapat dikendalaaikan dan variable-variabel yang dapat dimanipulasi menurut keinginan peneliti dengan dasar analisis berupa angka-angka. Definisi ini pun mengandung cacat serius, bukan hanya bagi ilmu-ilmu sosial, melainkan juga bagi ilmu-ilmu kealaman. Bagi ilmu-ilmu sosial, keberadatan terhadap definisi ini adalah bahwa eksperimen dalam ilmu-ilmu kebanyakan tidak bisa dikontrol dalam arti yang sesungguhnya. Manipulasi variabel dalam ilmu-ilmu ini hanya bisa dilakukan dalam analisis (statistik), misalnya dengan analisis varians atau korelasi varsil (dengan menganggap variabel tertentu konstan). Eksperimen dalam ilmu-ilmu social juga kebanyakan dilakukan secara ‘’bohongan’’ (quasi experiment) yang membiakan sejumlah variabel mempengaruhi kelompok eksperimen (yang diberi perlakuan), karena memang variabel-variabel itu tidak mungkin dikontrol. Akibatnya, presisi dan generalitas eksperimen ilmu-ilmu sosial tidak setinggi dalam ilmu kealaman. Ancaman terhadap validitas internal dan eksternal (Tuckman, 1982) tidak bisa dihindarkan. Karena alasan ini pula para ilmuwan social cenderung memperkecil toleransi kekeliruan penelitiannya dengan mempertinggi tingkat kepercayaan; dalam uji signifikansi statistic, misalnya menggunakan p .05 dan p .01.
Kelemahan lain pada definisi kedua di atas menyangkut ilmu-ilmu kealaman. Goldstein & Goldtein (1980:5) menulis, “But accepting this definition of science would exclude from science many of what we are used to thinking of as the greatest of scientific achievements’’. Yang menjadi soal adalah bahwa ilmu-ilmu kealaman sekalipun, tidak selamanya ‘’controlled experiments to test theories’’ tersebut dapat dilakukan. Misalnya dalam astronomi, ilmu yang dianggap paling eksak diantara ilmu-ilmu eksakta. Di sini para ilmuwan tidak bisa mengontrol setiap kuantitas, misalnya tidak bisa menggerakkan bumi agar lebih dekat ke matahari untuk menguji kebenaran lamanya tahun Masehi; atau mengukur jarak sekian ribu tahun cahaya dengan parameter-parameter yang benar-benar persis. Dalam geologi, para ilmuwan tidak bisa kembali ke situasi zaman es untuk mengetahui bagaimana benua-benua ini terbentuk melalui proses evolusi. Yang dapat mereka analisis (berdasarkan dugaan-dugaan dan teori-teori) hanyalah sisa-sisanya berupa lapisan bumi dan karakteristik bebatuan.
Ketiga, ilmu difahami berdasarkan dimensi pasifnya, menunjuk pada akumulasi fakta atau informasi sehingga membentuk suatu sistematika. Dalam pengertian ini, ilmu lebih dipandang dari segi content-nya yang bertambah terus menerus. Tanpa menarik garis beda antara ilmu-ilmu kealaman dengan ilmu-ilmu social dan keperilakuan, dalam suatu ilmu ada dalil-dalil, hokum-hukum, teori-teori, paradigm-paradigma, hipotesis-hipotesis, dan proposisi-proposisi yang menjadi pegangan paa ilmuwan dalam melakukan studi-studi ilmiah.
Pengertian keempat memandang ilmu lebih dari sekadar akumulasi informasi, fakta, teori, atau paradigm, melainkan merupakan system berfikir (Like Wilardjo, 1987; Pranaka, 1987). Dilihat dari dimensi aktifnya, ilmu adalah ‘’cara (kita) memandang dunia, memahaminya dan mengubahnya’’ (Goldstein & Goldstein, 1980:3). Cara pandang terhadap dunia mengimplikasikan bahwa ilmu merupakan aktivitas creative dan imajinatif manusia (ilmuwan) dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran di alam ini. Pada gilirannya, hasil aktivitas kreatif dan imajinatif itu diabdikan bagi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia, melalui upaya memajukan kebudayaan dan peradaban (Pranarka, 1987).
Berkenaan dengan hal di atas, Goldstein & Goldstein (1980:4) mengemukakan:
“… that science is not a dry, orderly compilation of useful facts, although some of those who hold the negative view of science my think that it is. Science is an activity of creative and imaginative human being, not computer and other machines. The creativity and imaginations must be controlled by discipline and self criticism…”.
Aktivitas keilmuan menurut mereka ditandai oleh tiga hal. Pertama, mencari pengertian tentang realitas dengan penjelasan yang memuaskan. Kedua, pengertian ini diarahkan pada usaha menemukan hukum-hukum dan prinsip-prinsip generalitas untuk lingkup yang seluas-luasnya. Ketiga, hukum-hukum dan prinsip-prinsip itu dapat di test secara eksperimental.
Definisi di atas tampaknya masih belum lepas dari komplikasi, di samping masih diwarnai oleh jalan pikiran ilmuwan-ilmuwan kealaman yang menganut paradigm naturalistic-kualitatif (Lincoln & Guba, 1985; Guba & Lincoln, 1981; Bogdan & Biklen, 1982; Goetz & LeCompte, 1984) akan mempertanyakan, apakah suatu pengertian (understanding) harus mengimplikasikan ‘’general laws and principles” dan “can tested experimentally”? Apa yang dimaksud dengan generalitas atau generalisasi? Pertanyaan ini timbul sehubungan dengan beragamnya realitas (multiple realities) yang menuntut perspektif ganda (multiple perspectives) menurut rumusan Schwartz & Ogilvy. Bagi para ilmuwan kealaman, definisi ilmu dari Goldstein di atas tidak menjadi soal, tetapi bagi sebagian ilmuwan social, definisi itu masih harus dipertanyakan.
Dengan memadukan berbagai pengertian di atas, penulis berpendirian bahwa ilmu merupakan sistem berfikir yang menunjuk pada serangkaian aktivitas kreatif dan imaginative manusia dalam upaya mencari kebenaran, dengan berpegang pada standa-standar pencarian yang berdisiplin (disciplined inquiry) yaitu ketat (rigorous) dan memperkecil kekeliruan (concern for error). Definisi ini tidak mengimplikasikan (selalu) perlunya dua di antara tiga ciri yang dikemukakan Goldstein, yaitu generalitas hukum-hukum/prinsip-prinsip dan pengujian eksperimental. Juga, kebenaran ilmu tersimpul dalam relasi interaksional antara subyek dengan obyek.
Berdasarkan definisi ini, implikasi metodologis dari upaya pencarian kebenaran ilmiah 9yang disebut ‘’metode ilmiah’’) dilakukan.
B. Metode Ilmiah
Kajian menyangkut ‘’metode ilmiah’’ ini diawali dengan suatu analogi yang dikutip dari Kaplan (1963:5) yaitu: ‘’If all roads lead to Rome, then, by the same token, once in Rome, we can go anywhere’’. Analogi ini dikutip dari Kaplan (1963) dalam rangka membahas fungsi konsep dalam studi keilmuan. Tetapi analogi yang sama bisa dipakai untuk mengkaji kaitan ‘’kebenaran ilmiah’’ dengan ‘’metode ilmiah’’. Kebenaran ilmiah adalah beragam. Rentangan fenomena yang perlu dipelajari ilmu-ilmu pun begitu luasnya, dan ini membutuhkan strategi riset atau inquiry yang beragam pula khususnya dalam ilmu-ilmu social dan humaniora (Kaplan, h. 27-29). Seperti juga telah dikemukakan dalam Bab sebelumnya tantang beragamnya orang merumuskan kebenaran ilmiah. Dilihat dari dunia makna, Phenix, misalnya menyebut enam jenis atau dunia makna, yaitu: makna simbolik, empiric, estetik, sinoetik, etik, dan sinoptik. Ragam kebenaran ini memerlukan berbagai pendekatan, dan tentu saja tidak melalui ‘’satu jalan ke Roma’’.
Analogi dari Kaplan tadi relevan dikutip di sini mengingat ada sementara kelompok ilmuwan yang cenderung memutlakkan ataupun menjadikan ‘’mitos’’ apa yang disebut ‘’metode ilmiah’’. Bagi pengikut paradigm positivistic yang dipelopori oleh Auguste Comte (Koento Wibisono, 1983), John Stuart Mill, John Dewey (Limcoln & Guba, 1985) seakan-akan hanya ada satu jalan menuju kebenaran ilmiah, yaitu melalui apa yang disebut ‘metode ilmiah’.
Kecenderungan untuk memutlakkkan metode ilmiah timbul dari anggapan sempit mengenai pengertian ilmu (science), yakni semata-mata seperti apa yang dikerjakan ‘’hard scientists’’ (Bogdan & Biklen, 1982). Kelompok ilmuwan ini mempercayakan ikhtiar-ikhtiar ilmiahnya pada metode-metode eksperimental-kuantitatif. Istilah ‘’bukti-bukti empirik’’ diartikannya secara sempit pula, yakni ‘’quantitative, statistical evidences’’.
Mereka kemudian menetapkan seperangkat tahapan procedural yang ketat untuk apa yang disebutnya ‘’the road toward scientific truth’’ melalui ‘’scientific methodes’’. Para mahasiswa yang mebgambil mata kuliah dasar metode riset sejak mula diberi pengertian yang sempit mengenai metode ilmiah ini. Seperti dikemukakan oleh Dewey, metode ilmiah yang dimaksud meliputi langkah-langkah sebagai berikut: (1) merumuskan masalah, (2) mengajukan hipotesis, (3) mengumpulkan data, (4) menguji hipotesis, dan (5) menyimpulkan.
Kalau tidak mengikuti langkah-langkah ini suatu riset tidak bisa disebut ilmiah dan hasilnya tidak akan sampai pada kebenaran ilmiah. Akibatnya, cara-cara kreatif, imaginatif, hermeneutik, kualitatif-naturalistik, spekulatif, imaginatif (trial and error), mereka kesampingkan dari percaturan diskusi perihal metode ilmiah karena dicap sebagai ‘’anti intelektualistik’’, anarkis, dan bisa merusak wibawa ilmiah.
Pengertian metode ilmiah seperti itu timbul dari semangat yang menghinggapi ilmu-ilmu kealaman pada masa awal perkembangannya. Ilmu-ilmu ini memang sangat berhasil dalam menegakkan statusnya sebagai ilmu, berkat komitmen kuatnya pada usaha membedakan apa yang benar-benar nyata dengan apa yang hanya tahayul. Mereka menetapkan kriteria damarkasi untuk memisahkan apa yang layak disebut ilmiah dengan yang tidak. Semangat itu dikenal dengan positivism. Mengingat pengertian Comte, positivism menunjuk pada arti bahwa hanya pengetahuan yang dapat diuji secara empirik yang disebut ilmu. Pengertian ‘’empirik’’ pun terbatas pada deskripsi yag dihasilkan melalui formula-formula matematik (statistik, dan bukan dari psikologi introspektif. Positivisme sebagai tahap ketiga dalam ‘’Hukum Tiga Tahap’’