METAFISIKA

Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si (Guru Besar Sosiologi Pendidikan STKIP Pasundan dan Ketua KORPRI Kopertis Wikayah IV   


A.   Abstrak
Metafisika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental mengenai keberadaan dan realitas yang menyertainya. Kajian mengenai metafisika umumnya berporos pada pertanyaan mendasar mengenai keberadaan dan sifat-sifat yang meliputi realitas yang dikaji. Pemaknaan mengenai metafisika bervariasi dan setiap masa dan filsuf tertentu memiliki pandangan yang berbeda. Secara umum topik analisis metafisika meliputi pembahasan mengenai eksistensi, keberadaan actual dan karakteristik yang menyertai, ruang dan waktu, relasi antar keberadaan seperti pembahasan mengenai kausalitas, probabilitas dan pembahasan metafisis lainnya.
Kata kunci: metafisika, sifat-sifat, kausalitas, probabilitas.

B.   Pendahuluan
Filsafat, atau dalam Bahasa Arab filsafat adalah berpikir radikal, sistematis, dan universal tentang segala sesuatu. Obyek pemikiran filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Sega;a yang ada merupakan bahan pemikiran filsafat. Filsafat merupakan upaya berpikir manusia yang sistematis sehingga membentuk ilmu pengetahuan. Filsafat adalah sebuah refleksi atassemua yang ada, seluruh ralitas. Metafdisika adalah pengetahuan yang mempersoalkan hakikat gterakshir eksistensi, yang erat hubungannya dengan ilmu pengetahuan alam. Metafisika tidak hanya sekedar bentukj pengetahuan, melainkan sebuah bentuk pengetahuan yang bersifat sistematis.
Dalam arti tertentu metafisika merupakan sebuah ilmu, yakni suatu pencarian dengan daya intelek yang bersifat sistematis atas data pengalaman yang ada. Masalah metafisika dalam masalah yang paling mendasar dan menjadi inti dalam filsafat. Metafisika dari filsafat pada umumnya ingin mengantar orang kepada kehidupan. Metafisika sebagai ilmu yang mempunyai obyeknya tersendiri. Hal ini membedakannya dari pendekatan rasional yang lain. Obyek telaahan metafisika berbeda dari ilmu alam, matematika dan kedokteran.
Metafisika merupakan bagian dari aspek ontology dalam kajian filsafat. Konsep metafisika berasal dari Bahasa Inggris metaphysics, Latin metaphysica dari Yunani meta ta physis (alam). Metafisikan merupakan bagian fiklsafat tebtang hakikat yang ada di sebalik fisika. Hakikat yang bersifat abstrak dan di luar jangkauan pengalaman manusia. Tegasnya tentang realitas kehidupan di alam ini: dengan mempertanyakan yang Ada (being).  Alam wujud atau tidak, siapakah kita manusia, apakah peranan kita (manusia) dalam kehidupan ini. Metafisika secara prinsip mengandung konsep kajian tentang sesuatu yang bersifat rohani dan yang tidak dapat diterangkan  dengan kaedah penjelasan yang ditemukan dalam ilmu yang lain.
Metafisika merupakan tempat berpijak bagi setiap pemikiran filsafat termasuk pemikiran ilmiah. Beberapa tafsiran metafisika paling utama manusia terhadap alam ini adalah adanya wujud-wujud yang bersifat gaib. Animisme adalah kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme, di mana manusia percaya akan adanya makhluk-makhluk gaib di benda-benda seperti batu, pohon, air terjun. Sebaliknya, paham naturalisme berpendapat bahwa gejala-gejala alam yang terjadi tidak diseaebkan oleh makhluk-makhluk gaib melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat kita pelajarai dan kita ketahui. Disini kaum mekanistik tentang kaum vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala metafisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantive dengan proses tertentu.
Secara etimologi meta adalah tidak dapat dilihat oleh panca indera, sedangkan fisika adalah fisik. Jadi metafisika adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat secara fisik. Metafisika tidak dapat diuji secara empiris karena keberadaannya yang abstrak. 
Secara terminology  metafisika berasal (Bahasa Italia) berarti setelah atau dibelakang. Adapaun istilah lain metafisika berakar dari kata Yunani, metataphysica. Dengan membuang ta tambahan dan mengubah physica ke fisika (physics) adalah istilah metafisika yang berarti sesuatu di luar hal-hal fisik. Istilah metafisika diketemukan Andronicus pada Tahun 70 SM ketika menghmpun karya-karya Aristoteles. Kata ini di Arabkan menjadi ma’ba’da al-thabi’ah (sesuatu setelah fisika). Menurut penuturan para sejarahwan filsafat, kata ini pertama kali digunakan sebagai judul buku Aristoteles setelah bagian fisika dan membuat pembahasan umum tentang eksistensi. Sebagian filofofis Muslim merasa lebih cocok menggunakan istilah ma qabla al-thabi’ah (sesuatu sebelum fisika). Tampaknya, bagian yang berbeda adalah teologi utsulujiyyah.  Dalam karya-karya para folosofis Muslim, semua pembahasan di atas digabungkan dalam bagian ‘’ketuhanan dalam arti umum’’. Sedangkan teologi dikhususkan dengan nama ‘’ketuhanan dalam arti khusus’. Maka, metafisika dipakai untuk menyebut kumpulan soal-soal teoretis intelektual filsafat dalam arti umum.

C.   Pembahasan
Filsafat ilmu menjelaskan tentang duduk perkara ilmu atau science itu, apa yang menjadi landasan asumsinya, bagaimana logikanya (doktrin netralistik etik), apa hasil-hasil empirik yang dicapainya, serta batas-batas kemampuannya. Metodologi penelitian menjelaskan tentang upaya pengembangan ilmu berdasarkan tradisi-tradisinya, yang terdiri dari dua bagian, yaitu deduktif maupun induktif. Demikian pula tentang hasil-hasil yang dicapai, yang disebut pengetahuan atau knowledge, baik yang bersifat deskriptif (kualitatif dan kuantitatif) maupun yang bersifat hubungan (proporsi tingkat rendah, proporsi tingkat tinggi, dan hukum-hukum). Suriasumantri menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu pengetahuan atau epistemologi yang mencoba menjelasakan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tak lagi merupakan misteri. Metafisika pada masa sekarang menjadi bidang filsafat yang memikirkan dan mempelajari hal-hal yang „mengatasi‟ atau „di luar‟  pembahasan tentang hal-hal yang fisik dan empiris di mana sudut pandang metafisika mengatasi fisika (metaphysica).
Upaya manusia manusia untuk mengetahui tentang Tuhan, alam semesta, lingkungan (baik alamiah maupun sosial), dan dirinya (baik fisik maupun perilakunya) dilakukan melalui kegiatan berfikir, baik secara deduktif maupun induktif. Sudah menjadi kodrat manusia ingin mengetahui segala-galanya. Oleh karena itu manusia selalu bertanya untuk mendapatkan jawabannya. Mengetahui merupakan kenikmatan atau kebahagiaan. Karena manusia bisa mengetahui (dalam arti kata yang lebih dalam: memahami, mengerti, menghayati), maka derajat manusia lebih tinggi daripada binatang, bahkan lebih tinggi daripada malaikat. Apa yang dipelajari sejauh ini adalah ‘’ilmu-ilmu barat’’, yaitu ilmu yang lahir dan berkembang di dunia barat, yang akar-akarnya digali dari filsafat Yunani kuno. 

Tidak ada salahnya melanjutkan tradisi itu, namun bila hanya itu saja dan begitu saja, maka belum konsekuen terhadap Pancasila. Begitu mengakui Pancasila sebagai Dasar Negara dan sebagai pandangan hidup bangsa (Ways of Life), maka quest for knowledge harus “diturunkan” dari Pancasila yang menyatakan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamanya. Maka dari satu kekhususan dibandingkan dengan ilmu-ilmu barat itu, niscaya akan membawa pada kebenaran yang lebih benar daripada yang telah diraih oleh ilmu-ilmu barat itu. Kekhususan itu adalah bahwa the quest for knowledge tak lain merupakan upaya untuk menemukan dan mengerti ilmu Tuhan, yang sangat luas dan dalam, yang tidak akan habis-habisnya ditulis dengan tinta sebanyak tujuh samudera. Ilmu itu telah ada, telah diciptakan oleh Tuhan, dan berjalan dengan ketetapan-ketetapan yang abadi (sunatullah), yang tunduk pada penciptaNya tanpa membangkang sedikitpun. Bila diperbolehkan meminjam Istilah Kant, dikatakan bahwa ilmu itu a priori. Tuhan telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk menemukan, mengerti dan menghayati ilmu, suatu kemampuan yang tidak diberikanNya kepada ciptaanNya yang lain. Al Qur’an mengisahkan ketika diadakan “kompetisi” di antara para malaikat dan Adam, hanya Adam yang sanggup menyebutkan nama berbagai hal (menjelaskan sifat dari hal-hal tersebut), sementara malaikat tidak sanggup. Kemampuan untuk mengetahui inilah yang menjadikan manusia terunggul dan termulia di antara ciptaan Tuhan, sehingga manusia mendapat tugas dan kedudukan untuk menegakkan “kekhilafahan di atas bumi”.

Upaya quest for knowledge itu manusia menggunakan segala kemampuannya, yaitu akal budinya. Bila ilmu barat hanya menyandarkan pada akal atau rasio saja dan kurang menempatkan budi dan rasa, sedangkan ilmu-ilmu timur menekankan pada budi atau rasa dan sedikit atau tidak menggunakan rasio, maka Pancasila menghendaki untuk menggunakan rasio dan rasa secara seimbang pada “tempat” dan “takaran” yang benar. Dalam hal ini doktrin netralistik etik (Weber) mampu diterapkan pada tempatnya yang benar, dengan takaran yang tepat. Rasio dan rasa merupakan kemampuan yang dilimpahkan oleh Tuhan kepada manusia, yang kedua-duanya mempunyai kemampuan dan keunggulan masing-masing untuk digunakan pada tempat masing-masing dan tidak boleh dicampur-adukkan.

Kemampuan rasio terletak pada kemampuan membedakan dan atau menggolongkan, menyatakan secara kuantitatif maupun kualitatif, dan menyatakan hubungan-hubungan dan mereduksi hubungan-hubungan. Semua kemampuan itu berdasarkan ketentuan atau patokan yang sangat terperinci. Rasio tidak berdusta. Dalam keadaan murni di menyatakan secara tegas “ya” atau “tidak”. Kemampuan rasa menurut Soetriono dan SRDm Rita Hanafie (2007:100) terletak pada kreativitas, yang merupakan kegaiban, karena itu langsung berhubungan dengan Tuhan. Kreativitas inilah yang merupakan pemula di segala bidang, nalar, ilmu, etika, dan estetika. Sebagai pemula, kemampuan ini disebut intuisi. Etika (love) dan estetika (beauty) seluruhnya terletak pada rasa sehingga tiadanya rasa tak mungkin ada etika maupun estetika. Rasa tidak mempunyai patokan. Rasa adalah media kontak antara manusia dengan yang Ilahi yang juga menjadikan manusia berderajat lebih tinggi dari malaikat, sedangkan rasa yang tidak terjaga dari godaan setan (setan tidak bisa tergoda rasio) menjadikan manusia jatuh martabatnya. 

Manusia, dengan bersenjatakan pengetahuannya, dapat memilih, untuk menjalani roda kehidupan yang diridloi Allah dan tetap pada kemuliannya, atau untuk menyimpang dari jalan itu dan terbenam ke dalam kenistaan yang lebih rendah dari binatang sekalipun. Dalam hal ini guidance bagi manusia adalah moral (yang bersemayam di dalam rasa). Rasio menghasilkan ilmu dan ilmu menemukan atau mengungkapkan sunatullah, yang lebih kita kenal dengan istilah “hukum-hukum nomologis”, bersifat kekal abadi dan “netral” yang menghasilkan etika atau moral, dengan hukum-hukumnya yang disebut hukum-hukum normatif dan bersifat “imperatif”. Sehubungan dengan tidak adanya patokan, manusia sangat mungkin sesat dalam menghasilkan hukum-hukum normatif yang imperatif itu. Karena itu Tuhan menurunkan petunjuk bagi manusia berupa wahyu yang disampaikan kepada para nabi, yang kemudian dicatat dan dikumpulkan dalam kitab suci.

Rasio, dengan patokan-patokannya yang sangat terperinci, mampu menjaga diri untuk tidak terkena godaan setan. Rasa yang tidak berpatokan itu dijaga dengan petunjuk Tuhan, dan dengan kebesaran Tuhan. Setan diijinkanNya untuk menggoda manusia agar manusia lengah dan menyimpang dari petunjuk itu sehingga terjerumuslah manusia ke dalam lembah kenistaan dalam usahanya mencapai kebahagiaan dan kemuliaan, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, di dalam upaya quest for knowledge setiap hari, pertama-tama harus kuat memahami ilmu maupun humanitas, dan kedua: dalam mencapai “kebenaran”, tidak cukup dengan verifikasi seperti dalam ilmu barat, akan tetapi verifikasi yang dibarengi dengan validasi. Adapun landasan validasi tak lain firman Allah Swt.

Kata filsafat berasal dari kata „ philosophia’  (bahasa Yunani), diartikan dengan „mencintai kebijaksanaan‟. Sedangkan dalam bahasa Inggris kata filsafat disebut dengan istilah „  philosophy’ , dan dalam bahasa Arab disebut dengan istilah  ‘falsafah’, yang biasa diterjemahkan dengan  ‘cinta kearifan’.  Sumber dari filsafat adalah manusia, dalam hal ini akal dan kalbu manusia yang sehat yang berusaha keras dengan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran dan akhirnya memperoleh kebenaran.

Menurut Kattsoff yang menjadi cabang-cabang filsafat adalah logika, metodologi, metafisika, ontologi dan kosmologi, epistemologi, biologi kefilsafatan, psikologi kefilsafatan, antropologi kefilsafatan, sosiologi kefilsafatan, etika, estetika, dan filsafat agama. Dimensi kajian filsafat ilmu antara lain dimensi ontologi, epistemologi,dan aksiologi yang mana dalam dimensi ontologi yang menjadi  bagian dari objek kajiannya adalah metafisika.

Metafisika, selalu dikaitkan ke arah yang ghaib (supernatural), ilmu nujum, perbintangan, dan pengobatan  jarak jauh yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa. Dalam kehidupan sehari-hari secara sadar ataupun tidak manusia selalu membicarakan tentang hal-hal yang berbau metafisika (kepercayaan), hal-hal yang di luar dunia fisik seringkali dikaitkan dengan metafisika. Sebagai contoh sederhana adalah  beriman terhadap agama yang dianut, manusia memahami alam semesta diciptakan oleh Tuhan namun seringkali manusia mempertanyakan  bagaimana wujud Tuhan?? Apa Tuhan itu ada? selain itu adanya hantu atau  jin. Hal ini menunjukkan hubungan antara manusia dan metafisika. Apa sebenarnya metafisika itu? Metafisika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang mempelajari dan memahami mengenai penyebab segala sesuatu

Masa Yunani kuno metafisika dikatakan sebagai ilmu mengenai yang ada dalam dirinya sendiri. Dengan metafisika orang ingin memahami realitas dalam dirinya sendiri. Berbicara mengenai yang ada berarti bergaul dengan sesuatu yang sungguh-sungguh riil, sejauh yang ada itu sebagai suatu kondisi semua realitas. Metafisika mempunyai objek kajian yang mengatasi  pengalaman indrawi yang bersifat individual. Metafisika bertugas mencari kedudukan yang individual itu dalam konteks keseluruhan. Metafisika mengajak orang untuk tidak terpaku pada pohon ini atau itu atau masalah kesehatan manusia dan lain-lain yang tertentu, tetapi melihat semuanya itu dalam konteks bahwa semua itu ada.

Filsafat Ilmu menurut Beerling (1988:1-4) adalah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan. Filsafat ilmua erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengalaman manusia, juga mengenai logika dan metodologi.

Untuk menetapkan dasar pemahaman tentang filsafat ilmu maka Cony (M. Zainuddin 2006:21-22) menjelaskan empat titik pandang dalam filsafat ilmu: (1) filsafat ilmu adalah perumusan world view yang konsisten dengan teori-teori ilmiah yang penting. Menurut pandangan ini, adalah merupakan tugas filsuf ilmu untuk mengelaborasi implikasi yang lebih luas dari ilmu; (2) filsafat ilmu adalah eksposisi dari presupposition dan pre-disposition dari para ilmuwan; (3) filsafat ilmu adalah suatu disiplin ilmu yang di dalamnya terdapat konsep dan teori tentang ilmu yang dianalisis dan diklasifikasikan; (4) filsafat ilmu merupakan suatu patokan tingkat kedua, filsafat ilmu menuntut jawaban terhadap pertanyaan sebagai berikut: (a) karakteristik apa yang membedakan penyelidikan ilmiah dari tipe penyelidikan lain; (b) kondisi yang bagaimana yang patut dituruti oleh para ilmuwan dalam penyelidikan alam; (c) kondisi yang bagaimana yang harus dicapai bagi suatu penjelasan ilmiah agar menjadi benar; (d) status kognitif yang bagaimana dari prinsip dan hukum ilmiah.

Pada masa renaissance dan aufklarung ilmu telah memperoleh kemandiriannya. Sejak itu pula manusia merasa bebas, tidak terikat dengan dogma agama, tradisi maupun sistem sosial. Pada masa ini perombakan secara fundamental di dalam sikap pandang tentang apa hakikat ilmu dan bagaimana cara perolehannya telah terjadi. Ilmu yang kini telah mengelaborasi ruang lingkupnya yang menyentuh sendi kehidupan umat manusia yang paling dasariah, baik individual maupun sosial memiliki dampak yang amat besar, setidaknya menurut Koento (1988:5) ada tiga hal. Pertama, ilmu yang satu sangat terkait dengan yang lain, sehingga sulit ditarik batas antara ilmu dasar dan ilmu terapan, antara teori dan praktik. Kedua, semakin kaburnya garis batas tadi sehingga timbul permasalahan sejauhmana seorang ilmuwan terlibat dengan etika dan moral. Ketiga dengan adanya implikasi yang begitu luas terhadap kehidupan umat manusia, timbul pula permasalahan akan makna ilmu itu sendiri sebagai sesuatu yang membawa kemajuan atau malah sebaliknya.

Filsafat ilmu pengetahuan (theory of knowledge) di mana logika, bahasa, matematika termasuk menjadi bagiannya lahir pada abad ke-18. Dalam filsafat ilmu pengetahuan diselidiki apa yang menjadi sumber pengetahuan, seperti pengalaman (indera), akal (verstand), budi (vernunft) dan intuisi. Diselidiki pula arti evidensi serta syarat-syarat untuk mencapai pengetahuan ilmiah, batas validitasnya dalam menjangkau apa yang disebut sebagai kenyataan atau kebenaran itu. Dari sini lantas muncul teori empirisme (John Lock), rasionalisme (Rene Descartes), Kritisisme (Immanuel Kant). Positivisme (Auguste Comte), Fenomenologi (Husserl), Kontruktivisme (Feyeraband) dan seterusnya. Sejalan dengan itu, masing-masing aliran ini atau disebut juga school of thought, memiliki metodenya sendiri, sehingga metodologi menjadi bagian yang sangat menarik perhatian.

Filsafat ilmu menurut Roento Wibisono (1988:6) sebagai kelanjutan dari perkembangan filsafat pengetahuan, adalah juga merupakan cabang filsafat. Ilmu yang objek sasarannya adalah ilmu, atau secara populer disebut dengan ilmu tentang ilmu. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahap sekarang ini filsafat ilmu juga mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu, yang menyangkut juga etik dan heuristic, bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap arti dan makna bagi kehidupan umat manusia.

Tiap-tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi menjelaskan mengenai pertanyaan apa, epistemologi menjelaskan pertanyaan bagaimana dan aksiologi menjelaskan pertanyaan untuk apa. Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Sejak dini pikiran barat sudah menunjukkan munculnya perenungan ontologisme, sebagaiamana Thales ketika ia merenungkan dan mencari apa sesungguhnya hakikat “yang ada” (being) itu, yang pada akhirnya ia berkesimpulan, bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada) itu adalah air. Ontologi menurut Jujun (1986:2) merupakan azas dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika). 

Metafisika merupakan bagian dari aspek ontologi dalam kajian filsafat. Konsepsi metafisika berasal dari bahansa Inggris : metaphysics, Latin :metaphysica dari Yunani metaphysica (sesudah fisika); dari kata meta (setelah, melebihi) dan physikos (menyangkut alam) atau physis (alam). Metafisika berasal dari kata meta (di balik, tersembunyi) dan fisika (dunia yang tampak). Metafisika adalah bagian dari filsafat ilmu yang memperlajari di balik realitas. Salah satu buku filsafat menyebutkan bahwa metafisika  berarti “di balik yang ada”. Kedudukan metafisika dalam filsafat ilmu sangat kuat. Metafisika sudah merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam  pergulatan filosofis. Setiap telaah filosofis terdapat unsur metafisik. Metafisika merupakan bagian falsafah tentang hakikat yang ada di  balik fisika (yang nampak). Hakikat tersebut biasanya bersifat abstrak dan di luar jangkauan pengalaman manusia biasa. Matafisika secara prinsip mengandung konsep kajian tentang sesuatu yang bersifat rohani dan tidak dapat diterangkan dengan kaidah penjelasan yang ditemukan dalam ilmu yang lain.

Metafisika merupakan cabang filsafat umum yang bertugas mencari  jawaban tentang yang “ada”, yaitu filsafat  yang memburu hakikat sesuatu yang ada, atau menyelidiki prinsip-prinsip utama. Yang dimaksud dengan “yang ada” atau “being” ialah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Metafisika secara tradisional didefinisikan sebagai pengetahuan tentang pengada (being). Metafisika merupakan upaya untuk menjawab problem tentang realitas yang lebih umum, komprehensif, atau lebih fundamental daripada ilmu dengan cara merumuskan fakta yang paling umum dan luas tentang dunia termasuk penyebutan katagori yang paling dasar dan hubungan di antara kategori tersebut. Metafisika sebagai ilmu mempunyai objeknya tersendiri. Hal ini yang membedakannya dari pendekatan rasional yang lain. Objek telaahan metafisika berbeda dari ilmu alam, matematika, atau ilmu kedokteran. Metafisika berbeda pula dari cabang filsafat lain, seperti filsafat alam, epistemology, etika, dan filsafat ketuhanan.

Metafisika adalah sebuah kekuatan yang terletak pada kekuatan mental, akal pikiran, hati, jiwa serta semua fisik tubuh manusia, yang mana manusia bisa membangkitkan kinerja semua unsur tubuh mereka, maka mereka memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.

Filsafat Ilmu dan Metafisika
Metafisika dalam dunia filsafat kedudukannya sangat kuat. Pertama, metafisika merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam pergulatan filosofis. Kedua, telaah filosofis terdapat unsur metafisik merupakan hal yang signifikan dalam kajian filsafat. Ini tentu sejajar dengan signifikannya yang menyebut bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu. Menurut Kattsoff, metafisika termasuk salah satu dari cabang-cabang filsafat yaitu hal-hal yang terdapat sesudah fisika, hal yang terdapat dibalik yang nampak. Metafisika oleh Aristoteles disebut sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang ada sebagai yang ada, yang dilawankan dengan yang ada sebagai yang digerakkan atau yang ada sebagai yang dijumlahkan. Kita dapat mendefinisikan metafisika sebagai bagian pengetahuan manusia yang  berkaitan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang terdalam. Secara singkat, dapat dinyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan ini menyangkut persoalan kenyataan sebagai kenyataan, dan berasal dari  perbedaan yang cepat disadari oleh setiap orang, yakni perbedaan antara yang tampak (apprence) dengan yang nyata (reality). Dalam filsafat ilmu menurut Persons (Ismaun:2004) dalam studinya melakukan pendekatan salah satunya adalah pendekatan metafisika, yang  bersiifat intransenden. Moral berupa sesuatu yang objektif universal. Dalam dimensi kajian filsafat ilmu dibagi menjadi dimensi ontologi, dimensi epistemologi, dan dimensi aksiologis. Metafisika termasuk dalam objek kajian pada dimensi ontologi. Metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang hal-hal yang sangat mendasar yang berada di luar pengalaman manusia. Metafisika mengkaji segala sesuatu secara komprehensif. Asmoro Achmadi (2005:14), berpendapat  metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan sesuatu yang bersifat „keluarbiasaan‟(beyond nature) , yang berada di luar pengalaman manusia (immediate experience)

Kajian Metafisika 
Metafisika adalah cabang tertua dari filsafat, umurnya sama tuanya dengan filsafat itu sendiri. Kelahirannya diawali oleh suatu ketertarikan untuk mengungkap misteri dibalik realitas ini,sama dengan maksud istilahnya yaitu :meta berarti dibalik,dan fisika yang berarti alam fisik . Yang dalam bahasa arab dimengerti sebagai (apa yang ada dibalik fisik ) .Maka metafisika adalah  pengetahuan spekulatif filosofis tentang realitas,dimana pengetahuan spekulatif filosofis itu dimaksudkan sebagai menjangkau sesuatu dibalik yang fisik.

Metafisika mengandung klasifikasi yang meliputi, pertama  Metaphysica Generalis (ontology); ilmu tentang yang ada atau pengada. Metafisika umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada artinya  prinsip-prinsip umum yang menata realitas. Metafisika umum untuk seterusnya digunakan istilah ontologi mengakaji realitas sejauh dapat diserap oleh indra. Cabang utama metafisika adalah ontology, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat dan kemungkinan. Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang  bersifat kongkrit. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologism ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Kedua,  Metaphysica Specialis atau metafisika khusus yaitu membahas penerapan prinsip-prinsip kedalam bidang-bidang khusus teologi, kosmologi, dan antropologi. Metafisika khusus mengkaji realitas yang tidak dapat diserap oleh indra.

Metafisika umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-prinsip umum yang menata realitas. Sedangkan metafisika khusus membahas penerapan prinsip-prinsip umum ke dalam  bidang-bidang khusus : teologi, kosmologi dan antropologi. Pemilahan tersebut didasarkan pada ada dapat tidaknya diserap melalui perangkat indrawi suatu objek filsafat pertama. Metafisika umum mengkaji realitas sejauh dapat diserap melalui indra sedang metafisika khusus (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap indra, apakah itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi) maupun hakekat manusia (antropologi)

Filsafat (metafisika) tidak pernah berangkat dari dunia awang-awang atau khayalan. Titik tolaknya selalu pengalaman nyata inderawi. Pengalaman itu disistematisasi. Kemudian  berdasarkan pengalaman itu, dibangun refleksi yang spesifik. Filsafat mengangkat pengalaman hidup untuk mencari prinsip- prinsip dasar. Dengan demikian diharapkan bahwa kita sampai  pada Sang Illahi yang disbut Allah oleh orang yang beragama. Selain itu, dengan mendasari keterbatasan daya piker manusia, metafisika mengajarkan pada kita kebijaksanaan hidup. Hidup  perlu ditangkap dalam keseluruhannya, tetapi tidak berarti kita memahami kehidupan itu secara tuntas.

Manusia mempunyai beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata.Pemikiran seperti ini disebut  pemikiran supernaturalisme.Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme.Selain faham diatas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme.Paham ini amat bertentangan dengan paham supernaturalisme.Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan diketahui.Orang orang yang menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib.

Wilayah kajian metafisika, sebagaimana diintrodusir oleh seorang filsuf Jerman, Christian Wolff, pada abad ke- 18 adalah ontologi di samping teologi metafisik, antropologi dan kosmologi. Ontologi berkaitan dengan filsafat tentang yang ada (being); teologi berkaitan dengan problematika filsafat ketuhanan; kosmologi berkaitan dengan filsafat alam; dan psikologi berhubungan dengan filsafat manusia dengan problematikanya (mind). Kattsoff membagi metafisika menjadi dua: ontologi dan kosmologi. Ontologi berusaha untuk menemukan esensi terdalam dari yang ada, sedang kosmologi berusaha untuk mengetahui ketertiban serta susunannya.15 Ontologi merupakan istilah lain dari metafisika. Hal ini bisa dilihat dari definisi ontologi itu sendiri. Ontologi berasal dari bahasa Latin: “ontos” (being atau ada) dan “logos” (knowledge atau pengetahuan).16 Jadi, ontologi sama dengan metafisika, yaitu cabang filsafat yang bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakekat yang ada yang terdalam atau esensi terdalam dari yang ada. Oleh karenanya, ontologi sama dengan metafisika.

 Metafisika Dalam Agama Islam
Ilmu filsafat tidak akan pernah lepas dari metafisika. Menurut Bakar (1997: 120), ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika karena materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujudSecara religius, wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan malaikat dan secara filosofis, objek ini merujuk pada sebab pertama, sebab kedua, dan intelek aktifFilsafat Metafisika tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama yaitu hakekat agama sebagai objek dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Suci. Dalam kajian metafisika agama dan khususnya Islam salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan fondasi teologis dan tauhid secara benar karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam.  
Kekokohan konsepsi metafisika agama Islam dimaksudkan untuk menjawab tantangan pendapat para pendukung materialisme  khususnya positifisme yang mengingkari eksistensi immateri dan supra-natural, yang kedua hal tersebut adalah hekekat substansi nilai keagamaan. Disinilah setiap pemikir agama harus melakukan atau minimal menjawab dua hal pokok yang menjadi tantangan kaum meterialistik yang tidak meyakini hal-hal yang suprainderawi yaitu:
Pertama, Pemikir agama harus mampu membuktikan keterbatasan indera manusia dalam melakukan eksperimen dan menyingkap segala eksistensi materi alam semesta.
KeduaMembuktikan keberadaan hal-hal yang bersifat non-inderawi,      namun memiliki eksistensi riil dalam kehidupan di alam semesta yang luas ini.

Metafisika berbeda dengan kajian-kajian tentang objek partikular yang ada pada alam semesta. Biologi mempelajari objek dari organisme bernyawa, geologi mempelajari objek bumi, astronomi mempelajari objek bintang-bintang, fisika mempelajari objek perubahan pergerakan dan perkembangan alam. Tetapi metafisika agama mempelajari sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh semua objek ini yang dipandu oleh dimensi keilahian untuk menemukan kebenaran hakiki atas religiusitasnya. (Tule, 1995: 202-203)
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan konsepsi falsafah Metafisika dalam perkembangan pemikiran Islam.  Disinilah perlu dilakukan sebuah pemetaan berkaitan dengan konsepsi falsafat metafisika  dalam wacana pemikiran Islam. Maka dapat dipetakan kedalam sejumlah  aspek penting yang mesti dideskripsikan oleh falsafah metafisika sehingga Islam menjadi agama yang memiliki bentuknya yang komprehensif. Misalnya pertanyaan-pertanyan yang menyangkut hal-hal  sebagai berikut bagaimana pemikir Islam merumuskan hakekat metafisis akal dan jiwa (hakekat metafisis manusia), bagaimana pemikir muslim merumuskan hakekat metafisis objek (metafisika ketuhanan), dan bagaimana pemikir-pemikir muslim  mengkonsepsikan hekakat metafisis falsafat wahyu dan nabi dan lain sebagainya. Pada hakekatnya segala hal yang berkaitan dengan konsepsi Islam berpedoman kepada hal-hal yang bersifat Ghoib. Maka untuk memberi rumusan  hal-hal yang bersifat ghoib ini para pemikir muslim berjuang sekuat tenaga melalui akal pikirnya untuk berijtihad menjawabnya sehingga melahirkan sejumlah konsep yang dapat dijadikan sumber rujukan.
Ilmu metafisika adalah ilmu yg melebihi ilmu fisika. Berbeda dari pengertian ilmu metafisika dalam khasanah western sciencefalsafah metafisika Islam adalah ilmu fisika yg dilanjutkan atau ditingkatkan sehingga masuk ke dalam ilmu bi al-ghoibi (ghaib atau rohani). Berkaitan dengan konsepsi keagamaan maka dengan ilmu metafisika akan terungkap apa itu agama secara lebih komprehensif. Kebenaran-kebenaran dan rahasia-rahasia agama yg selama ini dianggap misterius, mistik, ghaib, dan sebagainya akan menjadi sebuah konseptualisasi yang cukup nyata, relatif riel, dan dapat dijelaskan secara falsafi. Hal ini mirip dengan peristiwa-peristiwa kimiawi yg dulunya dianggap misterius, nujum, sulap, untuk menakut-nakuti, dsbnya, dengan ilmu kimia menjadi nyata, dan seolah-olah riel, dan dapat dijelaskan secara filosofis. Misalnya unsur air (H2O) Asam Klorida (HCl) Besi (Fe) dan lain sebagainya.
Dengan ilmu metafisika jelas bahwa agama tak lain terdiri dari hukum-hukum yang  secara konseptual riil seperti juga alam jagad raya yag tak lain terdiri dari hukum-hukum fisika, kimia, dan biologi. Hanya saja martabat dan dimensi hukum-hukum agama tersebut lebih tinggi dan bersifat hakiki, absolut serta jika dilihat secara filosofis nampaklah sangat sempurna alam ini. Tujuan pembahasan  metafisika adalah untuk membangun suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal. 
Dengan penjelasan yang masuk akal yang falsafi filosofis maka ajaran-ajaran agama dapat diterangkan secara logis sehingga keimanan semakin meningkat. Tanpa penjelasan yang  falsafi metafisis logis maka ajaran agama menjadi dogma. Tanpa penjelasan yang logis falsafai metafisis, maka  ajaran agama jugasekedar pil yang harus di telan sehingga tidak akan dapat dihayati maksud dan tujuannya oleh umat beragama. Dengan metafisika ilmiah ini kita bisa melihat bahwa tanpa adanya agama maka manusia tidak mungkin percaya adanya Tuhan. 
Metafisika adalah filsafat tentang segala sesuatu yang di luar alam biasa. Ini bisa dimaknai sebagai segala sesuatu yang sifatnya ghaib, yakni keberadaan  makhluk yang berada di sebuah alam yang tidak masuk dalam batas-batas dunia materi yakni yang unsur-unsurnya bida didteksi dengan indera.  Inilah yang di dalam Al-Qur’an disebut sebagai ruh. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ruh atau roh didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak berbadan jasmani. Roh yang berada di dalam  tubuh manusia disebut (NAFS). Allah berfirman, ’’Allah telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku’’ (QS. Al-Hijr: 29).
Selain ruh pada manusia, Allah juga mengabarkan tentang keberadaan malaikat dan jin. Ini menegaskan bahwa sesuatu yang bernama ruh itu memang ada. Keterangan yang ditrunkan sangat sedikit, karena memang tidak ada manfaat yang bisa diperoleh dengan kita mempelajari masalah ruh. Padahal Al-Qur’an diturunkan sebagai manfaat.
’’Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ’Ruh itu termasuk urusan Tuhanku dan tidaklah kalian diberikan pengetahuan melainkan sedikit.’’ (QS. Al-Isra: 85).
Bagi orang-orang yang beriman, apa yang terdapat dalam ayat tersebut sudah  cukup menjadi pegangan, bahwa kita tak perlu terlalu memperbincangkan keberadaan ruh, karena memang tidak akan ada manfaat yang akan kita peroleh. Imam Hasan Al-Banna mengatakan bahwa menjelaskan masalah ruh ini ssma dengan kita menceritakan tentang hakikat berbagai benda kepada orang buta sejak dilahirkan. Meskipun kita telah menjelaskan sejelas-jelasnya, mana mungkin orang buta tersebut paham akan penjelasan kita.
Akan tetapi, di masyarakat kita-rasa penasaran kalangan awam terhadap dunia yang satu ini ternyata telah dimanfaatkan betul untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Berbagai tayangan misti seperti ’Gentayangan’, ’Memburu Hantu’ atau juga film-film  yang laris manis di pasaran seperti ’Jailangkung’, ’Pocongan’, ’Lantai Ke-13’ bahkan juga pada sinetron-sinetron yang mengaku sebagai sinetron religi, membuat pemahaman masysrakat tentang ruh menjadi simpang siur. Sebagai seorang da’i, kita perlu menjelaskan konsep makhluk halus tersebut sesuai dengan dalil-dalik syar’i.

Malaikat
Malaikat adalah ruh yang diciptakan Allah dari nuur. Malaikat tidak memiliki nafsu’ sehingga ia tidak makan-minum, tidak melakukan hubunbgan seksual dan berbagai kegiatan syahwati lainnya. Malaikat merupakan makhluk yang menjadi utusan Allah (yang mengurusi berbagai urusan) sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
’’Yang menjadikanmalaikat sebagai utusan-utusan (yang mengurusi berbagai macam urusan) yang memiliki sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga atau empat.’’ (QS. Fathir: 1).
Allah telah memberi keterangan bahwa jumlah malaikat itu banyak, (dalam QS. Ali Imran: 124) disebutkan bahwa Allah telah menurunkan 3.000 malaikat untuk membantu kaum mukminin, akan tetapi yang dikenal hNY 10, sebagaimana kita semua telah hapal, yakni:
1.    Malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu Allah kepada nabi dan rasul.
2.    Malaikat Mikail yang bertugas memberi rizki/rejeki pada manusia.
3.    Malaikat Israfil yang memiliki tanbggung jawab meniup terompet sangkala di waktu hari kiamat.
4.    Malaikat Izrail yang bertanggung jawab mencabut nyawa.
5.    Malaikat Munkar yang bertugas menanyakan dan melakukan pemeriksaan pada amal perbuatan manusia di alam kubur.
6.    Malaikat Nakir yang bertugas menanyakan dan melakukan pemeriksaan pada amal perbuatan manusia di alam kubur bersama Malaikat Munkar.
7.    Malaikat Raqib/Rokib yang memiliki tanggung jawab untuk mencatat segala amal baik manusia ketika hidup.
8.    Malaikat Atid/Atit yang memiliki tanggung jawab untuk mencatat segala perbuatan buruk/jahat manusia ketika hidup.
9.    Malaikat Malik yang memiliki tugas untuk menjaga pintu neraka.
10. Malaikat Ridwan yang berwenang untuk menjaga pintu sorga/surga. 


Jin
Jin adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt dari api yang sangat panas (QS. Al-Hijr: 27) dan mampu menampilkan dirinya dalam berbagai bentuk. Sama dengan manusia, jin juga makan-minum, melakukan hubungan lawan sejenis, serta beranak. Allah berfirman,
‘’Katakanlah, telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan (Al-Qur’an) dan mereka berkata,  sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menakjubkan, (yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak beranak. Dan bahwasanya orang yang kurang akal dari kami dahulu selalu mengatakan  (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah. Dan sesungguhnya kami mengira bahwa manusia dan jin sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta kepada Allah.
Dan bahwasanya ada beberapa laki-lakidari manusia meminta perlindungan pada beberapa laki-laki dari jin, maka jin-jin itu akan menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. Dan sesungguhnya mereka menyangka sebagaimana persangkaan kamu bahwa Allah sekali-kali tidak membangkitkan seorang (rasul) pun. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu, mendengar-dengarkan, tetapi sekarang, barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan tentu akan menjumpai panah api yang mengintai. Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui apakah keburukan yang dikehendaki orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka. Dan sesungguhnya di antara kami ada yang shaleh dan ada yang tidak demikian halnya. Adalah kami yang menempuh jalan yang berbeda-beda.’’

Dalam Surat Al-Jin ayat 1-11, ada beberapa keterangan yang bisa kita peroleh, yakni:
1.    Terdapat sekumpulan jin muslim yang telah mendengarkan Al-Qur’an  dan mereka kemudian beriman kepada Allah Swt.
2.    Namun ada pula jin-jin tersebut yang mendustakan Allah, inilah yang disebut sebagai iblis.
3.    Ada beberapa di kalangan manusia yang meminta perlindungan kepada jin, maka jin-jin itu semakin menambah dosa dan kesalahan manusia tersebut. Jin-jin itu berpandangan bahwa mereka memiliki keunggulan atas manusia karena mereka meminta perlindungan pada jin. Jika jin melihat manusia takut kepadanya, maka jin itu akan semakin menambah kejahatan terhadap manusia dan menambah rasa takut kepada mereka.
4.    Para jin mencoba mengetahui rahasia langit, maka mereka mendapati penjgaan yang kuat dari panah-panah api. Ketika mereka mencoba mencuri dengar dari  langit, maka mereka terbakar oleh panah api tersebut. Dan apa yang mereka peroleh hanyalah sedikit saja. Ramalan, nujum dan sebagainya berasal dari jin-jin yang mencuri dengar berita langit. Dikuatkan dalam QS. Ash-Shaaffaat ayat 6-10, bahwa ada suatu tempat di langit yang disebut al-mala’ul a’la, yaitu tempat di mana para malaikat dan penghuni lainnya memperbincangkan hal-hal yang telah diwahyukan Allah berupa syariat dan kudrat-Nya. Para jin itu ada yang mencoba mencuri-curi dengar, lalu mereka diusir dan dilempari dengan sejenis binatang (atau pecahan binatang, bukan binatang itu sendiri – lihat tafir Ibnu Katsir tentang QS. Al-Mulk: 5) dan dikejar suluh api hingga terbakar. Namun ada juga jin yang berhasil mencuri satu kalimat lalu disampaikan kepada setan yang lain, atau kepada para dukun.

Iblis dan Setan
 Allah berfirman, ‘’Dan bahwasanya orang (jin) yang kurang akal dari kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah.’’ (QS. Al_Jin: 3). Ibnu  Abbas mengatakan bahwa yang mereka maksud dengan orang (jin) yang kurang akal dari kami, adalah iblis. Iblis merupakan pembesar dari golongan jin yang mendustai Allah.
Adapun tentang syetan, Allah secara tegas berfirman, ‘’ Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan dari golongan manusia dan dari golongan jin.’’ (QS. Al-An’am: 112).
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat itu menunjukkan bahwa setan merupakan segala sesuatu yang menyimpang dari tabiatnya, berupa kejahatan. Sesunggunya manusia itu memiliki setan dari kalangannya sendiri. Setan dari golongan manusia itu disebut sebagai al-khonnas.
Jadi setan itu hanyalah sebuah sifat yang menjerumuskan kepada kekafiran. Yang menjadikan indah segala macam tindakan keji bagi pandangannya. Menurut Mujahid saat menafsirkan QS Al-An’am: 112 tersebut, ‘’Jin-jin yang kafir adalah golongan dari setan. Mereka membisikkan perkataan-perkataan yang indah sebagai tipuan kepada setan-setan manusia berupa manusia yang kafir.’’ 

Dalam islam, metafisika merupakan masalah utama sebagai landasan epistemology. Ini karna seluruh orientasi kehidupan manusia selalu menuju kepada Tuhan. Tuhan dalam kajian filsafat Islam merupakan problem metafisika sebagai being absolut. Masalah wujud merupakan sentral pembahasan para filsuf muslim. Bagi al-Kindi, metafisika merupakan argument-argumen nalar dalam membicarakan atau membuktikan eksistensi Tuhan. Ia membagi matafisika atas dua pengertian, yaitu metafisikan generalis (ada sebagai yang ada atau makhluk) dan metafisika khusus (ada sebagai yang illahi), yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Sementara itu, Ibn Sina menempatkan metafisika sebagai bagian terakhir dari filsafatnya. Fokus adan persoalannya adalah tentang wujud. Bagi Ibn Sina, metafisika adalah ilmu tentang keagamaan. Tuhan adalah sebab pertama dari segala yang ada. Ibn Sina juga melakukan sintesis metafisika antara taswuf dengan prinsip tauhid. Secara tersirat Ibn Sina mengkompromikan antara filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf agar berjalan saling memberi dan melengkapi. Bagi Ibn Rushd, metafisika dari dua bagian, yaitu ontology dan epistemology yang diartikan filsafat makrifat. Ibn Rushd melalui metafisika mencoba menerangkan konsepnya tentang ‘’wujud’’ Tuhan secara filsafat. Dengan kata lain metafisika dipakainya sebagai ilmu pembantu dalam ilmu kalam (ilmu tauhid).
Diantara tema-tema metafisika yang paling banyak melahirkan kontroversi filosofis adalah problem wujud. Secara historis, tema wujud menjadi tema fundamental metafisika yang didiskusikan  oleh hampir seluruh filsuf klasik sejak Aristoteles. Para filsuf muslim pun juga banyak yang membicarakan masalah wujud sebatas pada bagian dari tema-tema universitas (kulliyyat) saja, sama seperti masalah-masalah universitas yang lain seperti problematika substansi dan aksiden, unitas dan pluralitas dan sebagainya. Sampai periode awal dari aktivitas ilmiah Sadra, bahwa wujud masih belum pernah terbuktikan sebagai fondasi dari apa yang disebut sebagai realitas.
Persoalan pokok dalam filsafat pertama atau metafisika adalah ‘’mawujud mutlaq’’ atau ‘’mawujud qua mawujud (al-mawujud bi ma huwa mawujud). Konsep  wujud ini merupakan konsep plaing jelas daris egala sesuatu. Begitu jelasnya konsep ini merupakan konsep paling jelas dari segala sesuatu. Begitu jelasnya konsep wujud ini sehingga ia tidak ada lagi yang lebih jelas daripadanya. Oleh karena itu pemberian definisi terhadap wujud sebenarnya adalah hal yang demikian sulit jika tidak mau dikatakan  tidak mungkin. Hal ini mengingat bahwa untuk mendefinisikan suatu objek diperlukan suatu hal yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Sementara ini konsep tebtang wujud adalah konsep yang paling jelas yang begitu saja hadir dalam benak.
Wujud (eksistensi) sebagai kajian filsafat eksistensialisme sangat bertentangan antara Barat dan islam. Eksistensialisme Islam merupakan sebuah aliran filsafat metafisika yang murni. Tujuan utamanya adalah ingin mencaritahu dan bahkan ingin sampai pada realitas wujud yang sebenarnya (the ultimate reality). Dengan demikian nuansa filsafat wujud dalam Islam lebih bersifat  teistik bahkan sufistik, sementara aliran filsafat eksistensialisme Barat sebagiannya condong pada nuansa ateistik.
Pembuktian adanya wujud Tuhan tidak hanya menjadi perbincangan para filsuf Barat, tetapi juga menjadi pembicaraan para filsuf dan teolog muslim, seperti yang dilakukan oleh para filsuf dan etolog muslim yang menjadi pengikut Mu’tazilah maupun al-Ash’ariyah. Pembuktian tersebut dibedakan menjadi 3 (tiga) dalil, yaitu:
1.    Dalil Kebaharuan (Dalil al-Haduth)
Argument a noviate mundi (dalil al-huduth),  yang pada dasarnya menekankan kesementaraan alam semesta, sebenarnya telah digunakan secara popular oleh mutakallimun (teolog Muslim) ketimbang para filsuf muslim (falasifah). Prosedur umum yang digunakan para mutakallimun dalam membuktikan teporalitas alam semesta, kata Majid Fakhry (1983), ialah ‘’dengan cara menunjukkan bahwa alam yang mereka definisikan sebagai segala sesuatu selain Tuhan, itu terdiri dari atom-atom dan aksiden-aksiden”. Aksiden-aksiden tersebut dikenal dengan ‘ard yaitu bahwa semua benda mengalami perubahan keadaan yang bermacam-macam, baik berupa bentuk, warna, gerakan, bergantian, surut dan perubahan-perubahan lainnya’’.
Al-Kindi mengetengahkan empat argument untuk membutktikan keberadaan Tuhan, yaitu: Pertama, bersabdar pada premis bahwa alam semesta adalah terbatas dan disiptakan dalam waktu. Yang ditunjukkan bahwa alam semesta adalah terbatas dari sudut jasad, waktu dan gerak, yang berarti bahwa ia haruslah diiciptakan, yaitu menurut kaum kausalitas. Kedua, didasarkan pada ide keesaan Tuhan, menunjukkan bahwa segala sesuatu yang tersusun dan beragam tergantung secara mutlak pada keesaan Tuhan, adalah sebab terakhir dari setiap objek inderawi memancar, dan ia yang membawa setiap objek tersebut menjadi wujud. Ketiga, pada dasarnya bersandar pada ide bahwa sesuatu tidak secara logika menjadi penyebab bagi dirinya; dengan menyangkalan empat yang menjadi sebab bagi dirinya sendiri: 1) sesuatu yang menjadi sebab bagi dirinya mungkin tiada dan esensinya juga tiada; 2) sesuatu mungkin tidak ada tapi esensinya ada; 3) sesuatu mungkin ada dan esensinya juga ada; 4) sesuatu mungkin ada dan esensinya juga ada. Keempat, didasarkan kepada analogi antara mikrokosmos (badan manusia) dan mikrokosmos (alam semesta).
2.    Dalil Kemungkinan (Dalil al-Imkan)
Sementara argument pertama menekankan temporalitas, penciptaan alam semesta, argument kita kali ini, yakni  a contingent mundi,  terfokus pada argument dari kontingensi atau memungkinkan, dari mana adanya wujud niscaya Tuhan dapat secara logis disimpulkan. Maksudnya, argument dari kemungkinan menyatakan bahwa suatu wujud yang mungkin tidak bisa dengan sendirinya karena kontingensi berarti menggantung dalam keseimbangan antara ada dan tiada karena itu (ia) membutuhkan sebuah sebab yang akan mengubah keseimbangan tersebut ke arah yang ada. Penyajian argument tebtang adanya Tuhan, itu memerlukan pemahaman dengan melalui ontologi dan analisis ke dalam penilaian tertentu, yaitu tiga macam pemilihan menguraikan tentang wujud: Pertama, pemilahan antara essence dan existence. Yang dimaksud esensi adalah ‘’sesuatu sebagaimana adanya’’ (it is what it is), sementara eksistensi adalah pengejawantahannya dalam  dunia lahiriah (ada realitas dari sesuatu itu) yabg merupakan kebenaran di dalamnya ada eksistensinya yakni sesuatu dengan mana ‘’ia menjadi apa adanya’’ dan ada wujud aktualnya. Nampaknya eksistensi itu meskipun sebagai tambahan pada esensi lebih prinsipil daripada esensi sendiri. Meskipun esensi itu ditambahkan pada esensinya, namun eksistensilah yang memberi tiap-tiap esensi atau realitasnya, dank arena itu ia lebih prinsipil. Esensi sesuatu itu dalam kenyataannya tidak lebih dari batasan ontologisnya yang diabstraksi oleh pikirannya. Kedua, pemilahan antara yang tidak mungkin, yang mungkin dan yang niscaya wajib yaitu wujud yang ada bisa bersifat niscaya (wajib) dalam dirinya disebabkan oleh tabiatnya sendiri atau tidak niscaya. Wujud yang tidak niscaya dalam dirinya bisa bersifat tidak mungkin atau mungkin, ataupun yang tidak mungkin dalam dirinya tidak bisa menjadi ada (mawujud). Tuhan, yang esensi dan eksistensinya sama adalah satu-satunya wujud yang niscaya (wajib al-wujud) oleh dalam dirinya. Segala sesuatu selain Tuhan secara iinheren dipengaruhi oleh kemungkinan. Sesuatu yang mungkin tidak pernah bisa melepaskan kemungkinannya dalam setiap tahap karyanya dan tidak pernah menjadi niscaya sendiri.  Seperti Tuhan. Karena dalam setiap sesuatu yang mungkin, pasti ada dualitas atau bahkan kesenjangan tertentu antara esensi dan eksistensi mereka,  tidak seperti Tuhan yang esensi-Nya sama dengan eksistensi-Nya, sehingga kesatuan sejati tercapai  
3.    Dalil Wujud Tuhan Ibn Rushd
Dalil-dalil tentang eksistensi Tuhan dari para Filsuf Muslim di atas, melihat dari segi kemungkinan dan kebaharuan alam. Ibn Rushd berbeda dengan memberikan argumentasi yang cenderung pada dalil kosmologis sebagaimana pada teori Aristoteles. Berkaitan dengan pembuktian eksistensi Tuhan. Ibn Rushd membuktikannya dengan teori kausalitas. Dalam hal ini Ibn Rushd mengemukakan tiga dalil yaitu: Pertama, dengan jalan ikhtira (keaneka ragaman) yang ditegakkan atas dua dasar pokok: 1) keadaan segala mawujud ini adalah mukhtara (diciptakan) dengan tidak ada bandingannya. Pada tiap-tiap penciptaan yang kita dapati, tersimpan sebab akibat (hukum kausalitas) yang diciptakan berbeda-beda, sehinggag mendorong kepada penyelidikan hubungannya yang satu dengan yang lain. Hal ini banyak dijumpai pada berbagai ilmu (fisika, fisiko kimiawi dan lain-lain), betapa rumit antara reaksi yang terjadi di dalam macam-macam benda, yang kadang-kadang sukar untuk dimengerti, sehingga dibutuhkan bermacam alat untuk itu. 2) keadaan tiap-tiap yang di-ikhtirakan (diciptakan) pasti mempunyai mukhtar-nya. Segala yang mawujud ini pasti mempunyai penciptanya; itulah Allah, Yang Maha Esa pada Dzat dan Sifat-Nya serta Esa pula pada af-al-Nya. Sebagaimana dibuktikan pada manifestasi ciptaan-ciptaannya, yang tidak ada satu makhluk pun yang mampu menandingi-Nya. Oleh karena itu, untuk mengenal dan mengetahui Allah dengan sebaik-baiknya wajib bagi kita menggali ilmu tentang sifat dan tabiat benda-benda dan hukum sebab akibat yang melekat padanya, suopaya dapat merasakan naiknya barometer iman tahap demi tahap untuk mengetahui sudut-sudut penciptaan yang hakiki itu dengan menempatkan kedudukan Allah pada kebesaran dan keinginan yang sewajarnya. Kedua, dengan jalan  inayah (perhatian/bantuan untuk memenuhi kebutuhan bagi yang diciptakan. Mengetahui Allah artinya mengetahui rahasia-rahasia wujud, hikmah dan hukumnya serta rahasia-rahasia tujuan ciptaan. Dalam menetapkan dan mengenal akan hal ini, kita cukupkan memakai dalil-dalil, aksioma yang jelas dan sederhana, tanpa memerlukan kepada pembuktian dan perdebatan yang bertele-tele dan tanpa mengalami keraguan pada angan-angan. Jalan inayah ini berjalan di atas dua dasar juga, yaitu: 1) alam semesta ini dengan semua bagian-bagiannya, kita jumpai dengan cara yang sesuai bagi terwujudnya insan, bagi terwujudnya segala yangb ada. 2) segala yang kita jumpai adalah sesuai benar dalam semua bagiannya untuk suatu perbuatan, dan dimaksudkan untuk tujuan tertentu, sehingga yang demikian itu menimbulkan kesan bahwa semua itu dijadikan dan ada yang menjadikan. Ketiga, dengan dalil ai-Nizam ( kerapian dan keteraturan) yang berpijak pada keindahan, perencanaan, pengaturan, kerapian, perhitungan, penentuan, ketertiban, perimbangan dan kepandaian yang semua itu dapat dibaca dengan jelas pada berbagai macam kejadian yang tidak terhitung jumlahnya.sistem dan susunan alam semesta yang sangat indah menawan dan teratur rapi, hanyalah dapat berlangsung berkat penguasaan arsitektur yang Maha Dahsyat dengan perencanaan yang cermat dan suatu sifat kebesaran yang benar-benartidak dapat diserupakan seperti apapun.

D.   Kesimpulan
hasil pembahasan yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 

Metafisika adalah merupakan cabang filsafat yang bertugas mencari  jawaban tentang yang „ada‟ yaitu filsafat yang memburu hakikat sesuatu yang ada atau menyelidiki prinsip-prinsip utama. 

Hubungan antara filsafat ilmu dan metafisika adalah bahwa kedudukan metafisika dalam dunia filsafat sangat kuat. Pertama, metafisika merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam  pergulatan filosofis. Kedua, telaah filosofis terdapat unsur metafisik merupakan hal yang signifikan dalam kajian filsafat. Ini tentu sejajar dengan signifikannya yang menyebut bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu. 

Objek kajian dalam metafisika adalah metafisika umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya  prinsip-prinsip umum yang menata realitas. Sedangkan metafisika khusus membahas penerapan prinsip-prinsip umum ke dalam  bidang-bidang khusus : teologi, kosmologi dan psikologi. Pemilahan tersebut didasarkan pada ada dapat tidaknya diserap melalui perangkat indrawi suatu objek filsafat pertama. Metafisika umum mengkaji realitas sejauh dapat diserap melalui indra sedang metafisika khusus (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap indra, apakah itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi) maupun kejiawan (psikologi).

kajian metafisika dalam kehidupan, dengan kedudukannya sebagai salah satu ilmu , filsafat (metafisika) bertugas mengeksplisitkan prinsip hidup yang sedikit banyak masih implisit adanya dalam diri seseorang. Filsafat ingin mengangkat ke permukaan kebijaksanaan hidup yang lebih sering didominasi oleh kepentingan tertentu. Metafisika akan menemukan jawaban dari ketidakpastian hidup, yang mungkin ada.

Konsepsi Islam terhadap metafisika berpedoman pada hal-hal yang bersifat ghaib dan pemikiran manusia dalam hal metafisika mempunyai kebenaran yang relatif. Namun kebenaran relatif ini diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Rasul. Selain itu tujuan pembahasan metafisika dalam filsafat adalah untuk membangun sistem di alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal karena dengan tidak adanya metafisika maka manusia tidak mungkin percaya adanya Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan  Aksiologi. Bandung: Pustaka Setia.

Al-Attas. (2010). Islam dan Sekularisme. Bandung: Pustaka.

Bakar, Osman. (1997). Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan.

Bakker, Anton. (1992). Ontologi Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius.

Beerling. 1988. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin. Jakarta: Balai Pustaka.
Kattsof, Louis. 1987. Element of Pholosophy. Terj.Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Majid, Fakhri. 1983. A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia  University Press and Longman.

Suriasumantri, Jujun S. 1986. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 

Soetriono dan SRDm Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi

Zainuddin, M. 2006. Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintas Pustaka.