PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MENINGKATKAN RASA NASIONALISME DI SMAN 1 SUKATANI KABUPATEN PURWAKARTA Oleh: Prof. Dr. Endang Komara, M.Si

Abstrak
Pendidikan karakter adalah gerakan nasional dalam menciptakan sekolah untuk mengembangkan peserta didik dalam memiliki etika, tanggung jawab, dan kepedulian dengan menerapkan dan mengajarkan karakter yang baik melalui penekanan pada nilai-nilai universal. Pendidikan karakter adalah usaha yang  disengaja, proaktif yang dilakukan oleh sekolah dan pemerintah (daerah dan pusat) untuk menanamkan nilai-nilai inti, etis, seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan penghargaan terhadap diri dan orang lain (Character Education Partnership).
Indikator pembinaan rasa nasionalisme yang menjdi focus dalam penelitian ini adalah 91) penggunaan terhadap Bahasa nasional 920 pengethaun tentang lagu-lagu wajib (3) pengethauan tentang rasa nasionalisme (4) sikap terhadap pengetahuan tentang pahlawan (5) sikap tentang kebudayaan daerah.
Penelitia ini bertujuan untuk menjelaskan penguatan pendidikan karakter agar dapat meningkatkan rasa nasionalisme dengan menggunakan penelitian tindakan kelas terdiri dari perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan penguatan pendidikan karakter dan peningkatan rasa  nasionalisme dan kinerja guru  dan tes sebagai alat pengukuran penguasaan materi pelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penguatan pendidikan karakter dapat meningkatkan rasa nasionalisme pada pembelajaran PKn.

Kata kunci: penguatan pendidikan karakter, rasa nasionalisme.

I.               Pendahuluan  

Penelitian ini terfokus untuk menjelaskan mengenai penguatan pendidikan karakter agar dapat meningkatkan rasa nasionalisme di SMAN 1 Sukatani. Hal ini bertujuan disamping karena siswa SMA menjadi prioritas utama dalam penguatan pendidikan karakter juga kurang memiliki semangat kewarganegaraan dan wawasan budaya, sehingga penghargaan terhadap nilai-nilai kehidupan bangsa secara lebih luas menjadi rendah karena kurang mendapat tempat dalam kehidupannya.
Pendidikan karakter merupakan suatu keniscayaan dalam upaya menghadapi berbagai tantangan pergeseran karakter yang dihadapi saat ini. Pendidikan karakter  bertujuan mengembangkan kemampuan seseorang untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehar-hari dengan sepenuh hati. Karena pendidikan karakter merupakan suatu habit, maka pembentukan karakter seseorang itu memerlukan communities of character (komunitas masyarakat yang bisa membentuk karakter). Peran sekolah sebagai communities of character  dalam pendidikan karakter sangat penting. Sekokah mengembangkan proses pendidikan karakter melalui proses pembelajaran, habituasi, kegiatan ekstrakurikuler, dan bekerja sama dengan keluarga dan masyarakat dalam pengembangannya.
Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017 (Komalasari dan Didin saripudin, 2017), mengidentifkasi lima nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk jejaring nilai yang perlu dikembangkan sebagai prioritas, yaitu nilai religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. 
Pertama, nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadaap Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Nailai karakter religius ini meliputi tiga dimensi relasi sekaligus, yaitu hubungan individu dengan Tuhan, individu dengan sesama, dan individu dengan alam semesta (lingkungan). Nilai karakter religius ini ditunjukkan dalam perilaku mencintai dan menjaga keutuhan ciptaan. Subnilai religius antara lain cinta damai, toleransi, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerjasama antar pemeluk agama dan kepercayaan, antibuli dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak, mencintai lingkungan, melindungi yang kecil dan tersisih. Kedua, nilai karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Subnilai nasionalis antara lain apresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghormati keregaman budaya, suku dan agama. Ketiga, nilai karakter mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita. Subnilai mandiri antara lain etos kerja (kerja keras), tangguh tahan banting, daya juang, profesional, kreatif, keberanian dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Keempat,  nilai karakter gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin komunikasi dan persabatan, memberi bantuan/pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan. Subnilai gotong royong antara lain  menghargai, kerja sama, inklusif, komitmen atas keputusan bersama, musyawarah mufakat, tolong-menolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan, dan sikap kerelawanan. Kelima,  nilai karakter integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral (integritas moral). Karakter integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat dalam kehidupan sosial, meliputi konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran. Subnilai integritas antara lain kejujuran, cinta pada kebenaran, setia, komitmen moral, anti korupsi, keadilan, tanggung jawab, keteladanan, dan menghargai martabat individu. 
Dari zaman ke zaman, pendidikan muncul dalam berbagai bentuk dan paham. Dilihat dari sejarahnya, pendidikan Indonesia dapat dibagi secara urutan waktu kurang lebih sebagai beikut: Pertama, zaman pra-kolonial, masa prasejarah dan masa sejarah. Kedua, zaman colonial ketika system pendidikan ‘modern’ dari Eropa diperkenalkan, dan ketiga, zaman kemerdekaan Republik Indonesia yang berlangsung hingga sekarang. Masing-masing zaman memiliki corak dan bentuk sendiri.
Memasuki abad ke-21 sekarang ini, pendidikan Indonesia dihadapkan dengan sejumlah tantangan dan peluang, yang tentunya berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya. Guna mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan dan dinamika perubahan yang sedang dan akan terus berlangsung di Abad ke-21 ini, bangsa Indonesia harus semakin mengasah kemampuan yang dibutuhkan untuk menghadapi setiap revolusi pada Pendidikan di Abad ke-21 ini.
Selaras dengan prinsip-prinsip dalam revolusi pembelajaran (learning 
revolution), proses pembelajaran seharusnya berpijak pada pilar-pilar active learning, creative learning, effective learning, dan joyful learning. Pembelajaran juga berpijak pada empat pilar pendidikan menurut UNESCO, yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning how to live together.
Indikator pembinaan rasa nasionalisme yang menjadi focus dalam penelitian ini adalah (1) penggunaan terhadap bahas nasional (2) pengetahuan tentang lagu-lagu wajib (3) pengetahuan tentang rasa nasionalisme (4) sikap terhadap pengetahuan tentang pahlawan (5) sikap tentang kebudayaan daerah.
Hasil pra survei melalui wawancara terstruktur menunjukkan kecenderungan penguatan pendidikan karakter dan rasa nasionalisme pada siswa SMAN 1 Sukatani pada tingkat sedang ke rendah. Hal tersebut terbukti dengan indicator pembinaan rasa nasionalisme dimana penggunaan  terhadap bahas nasional rendah, anak masih menggunakan Bahasa daerah, pengetahuan lagu-lagu wajib anak lebih cenderung hafal lagu zaman sekarang daripada lagu wajib, lebih suka menghafal nama-nama pencipta lagu daripada nama pahlawan, serta sikap tentang kebudayaan daerah yang rendah. Hal ini sangat menghawatirkan mengigat pada tingkat sekolah menengah ini diharapkan hasil pembinaan dapat menunjukkan kecenderungan sikap dan rasa nasionalisme yang tinggi, sebab hasil ini dijadikan dasar/pondasi yang kuat untuk meningkatkan kualitas yang lebih baik.
II.            Metode Penelitian  
Penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang bersifat reflektif, yaitu dengan melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dirancang akan mampu memperbaiki atau meningkatkan proses pembelajaran di kelas secara professional. Arikunto (2010) menyatakan bahwa  penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh guru  bekerjasama dengan peneliti (atau dilakukan guru bertindak sebagai peneliti) di kelas atau di sekolah tempat ia mengajar dengan penekanan kepada penyempurnaan  atau peningkatan proses dan praktis pembelajaran.
Berkaitan dengan PTK , Kemmis dan Taggart (1999: 10) menyatakan bahwa penelitian tindakan adalah suatu bentuk penyelidikan reflektif dari kolektif yang dilakukan oleh peserta dalam situasi social untuk meningkatkan rasionalitas dan keadilan social sendiri atau praktik pendidikan mereka, serta pemahaman mereka terhadap praktik dan situasi dimana praktik ini dilakukan keluar. Sedangkan menurut Kusumah  dan Dwitagama (2009:41) penelitian tindakan kelas dikembangkan secara bersama-sama antara peneliti dengan kolaborator dan sasaran tindakan tentang variable yang  dimanipulasikan dan dapat digunakan untuk melakukan perbaikan.
Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahu  pelajaran 2016/2017. Tempat penelitian dilaksanakan pada kelas X SMAN 1 Sukatani dengan jumlah peserta didik 37 orang. Untuk memperoleh data dalam penelitian  ini digunakan observasi, dokumentasi dan tes. Teknik analisis data penelitian  ini yaitu dengan menggunakan deskriptif analisis.
Keberhasilan penelitia  ini didasarkan pada indicator, keberhasilan penguatan pendidikan karakter dan rasa nasionalisme dilihat dari proses yang dihasilkan selama pembelajaran. Apabila  pada akhir siklus mencapai lebih kurang 70% dari indiktaor yang telah ditentukan. Pemilihan prosentase ini didukung oleh pendapat Arikunto (2010), yaitu 81%-100% sangat baik; 61% -80% baik; 41%-60%  cukup; 21%-40% kurang; dan 0%-20% kurang sekali.
III.          Hasil dan Pembahasan
Tindakan Siklus I
Perencanaan
Persiapan yang dilakukan pada siklus I meliputi (1) peneliti menentukan materi yang akan diajarkan pada siklus I yaitu pada  standar kompetensi (SK) 1. Memahami hakikat bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kompetensi dasar (KD) 1.4 menunjukkan  semangat kebangsaan nasionalisme dan patriotisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa  dan bernegara. Menyusun rancangan pelaksanaan pembelajaran sesuai kompetensi dasar yang  ingin dicapai. (2) menyusun rancangan pelaksanaan pembelajaran  sesuai dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai. (3) menyusun skenario pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
Pelaksanaan (Acting)
          Pembinaan rasa nasionalisme dengan menggunakan model pembelajaran value  clarification technique (VCT)  pada siklus 1 dikelas X  dilakuakn sebanyak tiga kali pertemuan, dua kali pembelajaran dan satu pertemuan untuk uji tes hasil siklus pertama. Pertemuan pertama dilaksanakan diikuti oleh 37 orang siswa, setiap pertemuan 2 x 45 menit. Pertemuan ketiga dilaksanakan dengan mengerjakan uji tes untuk mengethui sejauhmana hasil belajar siswa pada pertemuan pertama sebelumnya.
Pengamatan (Observing)
Pengamatan terhadap kegiatan guru menunjukkan pada siklus I dalam kategori kurang baik dengan skor 44.5%  dari total skor 100%. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan guru  dalam proses pembelajaran belum mencapai indicator  yang telah ditetapkan. Indicator ketercapaian untuk penggunaan Bahasa nasional siklus I sebesar 63.51%, pengetahuan lagu-lagu wajib siklus I 67.34%, pengetahuan tentang rasa nasionalisme siklus I  sebesar 67.79%, sikap terhadap pengetahuan tentang pahlawan siklus I  sebesar 51.35%, sikap tentang kebudayaan daerah siklus I sebesar 63.51%, hal ini dapat dilihat dari rata-rata nilai kelas  sebelum menggunakan model pembelejaran VCT. Sebesar 47.02% dengan siswa yang tuntas hanya 10 orang dari 37 orang. Kemudian  setelah menggunakan pembelajaran VCT pada siklus I, maka nilai rata-rata kelas meningkat menjadi 48.64% dengan peserta didik yaitu 18 orang. Dapat diartikan pada siklus I semua unsur penelitian belum mencapai indicator penilaiannya.
Refleksi
Kekurangan dan kelemahan kemampuan guru  pada saat proses belajar sebagai berikut (1) guru belum dapat memeriksa kesiapan siswa. (2)  guru belum dapat mengaitkan materi dengan pengetahuan lain yang relevan. (3) guru dapat mengaitkan materi dengan realitas kehidupan. (4) guru belum mampu membiasakan siswa untuk kreatif. (5) guru belum mampu membiasakan siswa untuk mandiri. (6) guru belum mampu  membiasakan siswa  untuk berani mengambil resiko. (7) guru belum mampu membiasakan siswa untuk kerja keras. (8) guru belum mampu membiasakan siswa untuk rasa ingin tahu. (9) guru belum mampu membiasakan siswa untuk disiplin. (10) masih ada peserta didik belum mencapai KKM.
Tindakan 2
Perencanaan
Perencanaan dilakukan pada silus II meliputi: (1) peneliti menentukan materi yang akan diajarkan pada siklus I yaitu pada standar kompetensi (SK) 1. Memahami hakikat bangsa dan NKRI kompetensi dasar (KD) 1.4 menunjukkan semangat kebangsaan, nasionalisme dan patriotism dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menyusun rancangan pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai. (2) menyusun rancangan pelaksanaan pembelajaran yang sesuai kompetensi dasar yang ingin dicapai. (3) menyusun scenario pembelajaran melalui pendekatan VCT yang meliputi tahap (a) guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai. (b) guru menyajikan materi secukupnya. (c) guru membentuk kelompok secara heterogen, terdiri dari 5 atau 6 orang. (d) guru menyampaikan beberapa tugas dan kata kunci sesuai dengan materi. (e) tiap kelompok mendiskusikan tugas yang diberikan. (f) tiap kelompok diminta untuk membuat laporan ringkas tentang tugas yang diberikan. (g) tiap kelompok menyajikanhasil diskusi secara pleno yang dipandu oleh guru. (h) guru membuat kesimpulan. (4) mempersiapkan sarana pembelajaran yang mendukung pelaksanaannya tindakan. (5) mempersiapkan instrument penelitian seperti lembar pengamatan (observasi). (6) mempersiapkan perangkat tes.
Pelaksanaan
Pembinaan rasa nasionalisme dengan menggunakakan model pembelajaran  VCT pada siklus II di kelas X dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan, dua kali pembelajaran dan satu pertemuan untuk uji tes hasil siklus pertama. Pertemuan pertama  dilaksanakan yang diikuti 37 siswa. Materi pembelajaran pada pertemuan ini. (1) menunjukkan contoh perileku sesuai dengan semangat kebangsaan, (2) menunjukkan sikap positif terhadap patriotisme Indonesia. Pertemuan kedua diikuti oleh 37 siswa, setiap pertemuan 2x45 menit. Materi pembelajaran pada pertemuan ini siswa harus mempraktekkan prinsip proyeksi peta di bidang datar. Pertemuan ketiga diikuti oleh 37 siswa. Pada pertemuan ketiga siswa mengerjakan uji tes untuk mengetahui sejauhmana hasil belajar siswa pada pertemuan pertama sebelumnya. 
Pengamatan
Pengamatan  terhadap kegiatan guru menunjukkan pada silus II  masih dalam kategori baik dengan skor 76% dari total skor 100%. Hal ini menunjukkan pada kegiatan guru dalam proses pembelajaran telah mencapai indicator yang telah ditetapkan. Indikator ketercapaian untuk penggunaan Bahasa nasional sebesar 84.68%. Pengetahuan lagu-lagu wajib siklus II sebesar 83.55%, sikap terhadap pengetahuan tentang pahlawan sebesar 82.43%. sikap tentang kebudayaan daerah sebesar 83.10%. hal ini dapat dilihat dari rata-rata nilai kelas sebelum menggunakan model pembelajaran VCT. Sebesar 47.02% dengan siswa yang tuntas hanya 10 dari 37 orang. Pada siklus III, peningkatan rata-rata kelas telah memenuhi kriteria yang diharapkan yaitu sebesar 76.21%. melihat peningkatan yang cukup baik maka peneliti memutuskan untuk menghentikan proses pembelajaran siklus II.
Refleksi
Berdasarkan hasil temuan menyatakan bahwa siswa yang mendapatkan nilai di atas atau sama dengan 70 sebagai standar KKM berjumlah 29 orang dari 37 siswa, dengan tingkat ketuntasan mencapai 78.37% sedangkan siswa yang tidak tuntas  hanya berjumlah 8 orang atau 21.62%. berarti pembelajaran sudah meningkat keberhasilannya, sehingga sudah dirasakan cukup untuk tidak dilanjutkan ke siklus berikutnya.   
Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017) mengidentifikasi 5 (lima) nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk jejaring nilai yang perlu dikembangkan sebagai prioritas, yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.
Pengembangan nilai-nilai karakter menurut Ki hajar Dewantara yakni olah hati (etika), olah pikir (literasi), olah karsa (estetika), dan olah raga (kinestetika). Nilai-nilai karakter yang perlu dikembangkan meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab dan lain-lain.
Menurut Lickona (1992:51) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik dimana “ Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior. Good character consists of knowing the good, desiring the good, nad doing the good-habits of the mind, habits of the heart, and habits of action’’. Artinya, karakter yang baik terdiri atas mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai atau menginginkan kebaikan (loving or desiring the good), dan melakukan kebaikan (acting the good). Oleh karena itu, cara membentuk karakter yang efektif adalah dengan melibatkan ketiga aspek tersebut. Lickona (1992:52) menguraikan komponen dari ketiga aspek tersebut sebagai berikut:
1.   Moral knowing
a.   Moral awareness
b.   Knowing moral values
c.    Perspective taking
d.   Moral reasoning
e.   Decision making, dan
f.     Self-knowledge
2.      Moral feeling
a.   Conscience
b.   Self-esteem
c.    Empathy
d.   Loving the good
e.   Self-control, dan
f.     Humility
3.   Moral action
a.   Competence
b.   Will, dan
c.    Habit
Menurut Lickona (1992) lebih lanjut menjelaskan identifikasi moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan moral. Moral knowing adalah hal yang  penting untuk diajarkan, yang terdiri atas enam hal: 1) moral awareness (kesadaran moral), 2) knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), 3) perspective taking (pengambilan perspektif), 4) moral reasoning (alasan moral), 5) decision making (pengambilan keputusan), dan 6) self-knowledge (pengetahuan diri). Moral feeling adalah asfek yang lain yang harus ditanamkan kepada siswa yang merupakan sumber energy dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Terdapat 6 (enam) hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yakni: 1) conscience (nurani), 2) self esteem (percaya diri), 3) empathu (merasakan penderitaan orang lain), 4) loving the good (mencintai kebenaran), 5) self control (mampu mengontrol diri), dan 6) humility (kerendahan hati). Moral action adalah bagaimana membuat pengetahuan dan perasaan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morality) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu: 1) kompetensi (competency), 2) keinginan (will), dan 3) kebiasaan (habit).
Indonesia heritage Foundation (Megawangi: 2004:94) telah menyusun ketiga komponen karakter tersebut ke dalam serangkaian nilai yang selayaknya diajarkan kepada anak-anak, yang meliputi: (a) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (b) kemandirian dan tanggung jawab; (c) kejujuran/amanah, bijaksana; (d) hormat dan santun; (e) dermawan, suka menolong, dan gotong royong; (f) percaya diri, kreatif, dan pekerja keras; (g) kepemimpinan dan keadilan; (h) baik dan rendah hati; dan (i) toleransi, kedamaian dan kesatuan. Ahli pendidikan moral, Lickona (1992) menyebut setidaknya ada karakter: jujur, kasih saying, keberanian, baik, control diri, tekun. Sedangkan Deklarasi Aspen memasukkan 6 (enam) nilai: 1) trustworthy yang meliputi honesty dan integrity; 2) treats people with respect; 3) responsible; 4) fair; 5) caring; dan 6) good citizen. Nilai-nilai yang terkandung dalam karakyter ini dijadikan karakter dasar dalam pendidikan karakter. Perbedaan karakter dasar antara keduanya dapat dilihat pada tabel berikut ini. 
Tabel 1.1 Karakter Dasar
Indonesia Heritage Foundation
Character Counts USA
Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
Dapat dipercaya (trustworthy) meliputi sifat jujur (honesty) dan integritas (integrity)

Kemandirian dan tanggung jawab
Memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people with respect)
Kejujuran/amanah, bijaksana
Bertanggung jawab (responsible)
Hormat dan santun
Adil (fair)
Dermawan, suka menolong dan gotong royong
Kasih saying (caring), dan
Percaya diri, kreatif dan pekerja keras
Warga negara yang baik (good citizen).
Kepemimpinan dan keadilan

Baik dan rendah hati

Toleransi dan kedamaian dan kesatuan


Lebih lanjut Dimerman (2009:9) mengidentifikasi 10 karakter yang harus dikembangkan yaitu: 1) respect; 2) responsibility; 3) honesty; 4) empathy; 5) fairness; 6) initiative; 7) courage; 8) perseverance; 9) optimism; and 10) integrity. Indonesia heritage Foundation yang juga banyak bergerak dalam pendidikan karakter mengidentifikasi ada 9 (Sembilan) karakter mulia yang menjadi pilar: 1) cinta Tuhan dan kebenaran; 2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; 3) amanah; 4) hormat dan santun; 5) kasih saying, kepedulian, dan kerjasama; 6) percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah; 7) keadilan dan kepemimpinan; 8) baik dan rendah hati; 9) toleransi dan cinta samai (Megawangi, 2004:28-30). Sementara itu Tim Pakar yayasan Jati Diri Bangsa (2011) mengangkat rumus 5+3+3 atau 11 kebiasaan. Secara ringkas dikutipkan di sini, 5 (lima) sikap dasar yaitu jujur, terbuka, berani mengambil resiko dan bertanggung jawab, komitmen, berbagi dengan 3 (tiga) syarat yaitu niat, tidak mendahului kehendak Tuhan dan bersyukur, lalu dilakukan dengan 3 9tiga) syarat yaitu do’a atau ibadah, mewujudkan perubahan lalu dikunci dengan teladan.
Dewantara (1962) menegaskan, beberapa jenis karakter yang harus dikembangkan melalui pendidikan yaitu: 1) tetep, antep, mantep artinya bahwa pendidikan itu harus membentuk ketetapan pikiran dan batin, menjamin keyakinan diri dan membentuk kemantapan dalam prinsip hidup; 2) ngandel, kendel dan bandel. Ngandel adalah istilah dalam bahasa Jawa yang artinya ‘’berpendirian tegak’’. Pendidikan itu harus menghantar orang pada kondisi diri yang ngandel (berpendirian tegak/teguh). Orang yang berpendirian tegak adalah yang berprinsip dalam hidup. Kendel adalah istilah yang menunjukkan keberanian. Pendidikan membentuk seseorang untuk menjadi pribadi yang berani, berwibawa dan ksatria. Orang yang berpendidikan adalah orang yang berani menegakkan kebernaran dan keadilan, matang dan dewasa dalam menghadapi segala cobaan. Bandel menunjukkan bahwa orang yang terdidik adalah yang ‘’tahan uji’’. Segala cobaan hidup dan dalam segala situasi hidup yang dihadapinya dengan sikap tawakal, tidak lekas ketakutan dan hilang nyali; 3) neng, ning, nung dan nang. Artinya bahwa pendidikan pada tataran terdalam bercorak religious. Pendidikan itu menciptakan kesenangan perasaan (neng), keheningan (ning), renungan (nung), dan ketenangan (nang). Dalam dan melalui pendidikan dan pembelajaran, seseorang bisa mengalami kesucian pikiran dan ketenangan batin.
Secara lebih khusus dalam pendidikan kewarganegaraan dikenal civic disposition (Branson, 1999:23). Pada civic disposition yaitu ‘’… those attitudes and habit of mind of the citizen that are conductive to the healthy functioning and common good of the democratic system’’. Sikap dan kebiasaan berpikir warga negara yang menopang berkembangnya fungsi social yang sehat dan jaminan kepentingan umum dari system demokrasi. Secara konseptual civic disposition meliputi sejumlah karakter kepribadian, yakni: ‘’Civility (respect and civil discourse), individual responsibility, self-discipline, civic-mindedness, open mindedness (openness, skepticism, recognition of ambiguity), compromise (conflict of principles, compassion, generosity, and loyality to the nation and its principles)’’ (Quigley, et. Al., 1991:13-14).
Untuk mampu mengembangkan pembelajaran abad 21 ini ada beberapa yang penting untuk diperhatikan antara lain:
1.   Tugas Utama Guru sebagai Perencana Pembelajaran
Sebagai fasilitator dan pengelola kelas maka tuga sutama guru yang penting s adalah dalam pemuatan RPP. RPP haruslah baik dan detail dan mampu menjelaskan semua proses yang akan terjadi dalam kelas termasuk proses penilaian dan target yang ingin dicapai.dalam penyusunan RPP, guru harus mampu memngkombinasikan antara target yang diminta dalam kurikulum nasional, mengembangkan kecakapan abad 21 atau karakter nasional serta menafaatan teknologi dalam kelas. 
2.   Masukkan unsur berfikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking)
Teknologi dalam hal ini khususnya internet akan sangat memudahkan siswa untuk memperoleh informasi dan jawaban dari persoalan yang disampaikan oleh guru. Untuk permasalahan yang bersifat pengetahuan dan pemahaman bisa dicari solusinya dengan sangat mudah dan nada kecenderungan bahwa siswa hanya menjadi pengumpul informasi. Guru harus mampu memberikan tugas di tingkat aplikasi, analisa, evaluasi dan kreasi. Hal ini akan mendorong siswa untuk berpikir kritis dan membaca informasi yang mereka kumpulkan sebelum menyelesaikan tugas dari guru.
3.   Penerapan pada pendekatan dan model pembelajaran yang bervariasi.
Beberapa pendekatan pembelajaran seperti pembelajaran berbasis proyek (project Based Learning), pembelajaran berbasis keinginan tahuan (Inquiry Based Learning), serta model pembelajaran silang (jigsaw) maupun model kelas terbalik (Flipped Clasroom) dapat diterapkan oleh guru untuk memperkaya pengalaman belajar siswa (Learning Experience). Satu hal yang perlu dipahami bahwa siswa harus mengerti dan memahami hubungan antara ilmu yang dipelajari di sekolah dengan kehidupan nyata, siswa harus mampu menerapkan ilmunya untuk mencari solusi permasalahan dalam kehidupan nyata. Hal ini yang membuat Indonesia mendapatkan peringkatb rendah (64 dari 65 negara) dari nilai PISA di tahun 2012. Siswa Indonesia tidak bisa menghubungkan ilmu dengan permasalahan riil kehidupan.
4.   Integrasi teknologi
Sekolah dimana siswa dan guru mempunyai akses teknologi yang baik harus mampu memanfaatkan teknologi dalam proses pembelajaran, siswa harus terbiasa bekerja dengan teknologi seperti layaknya orang yang bekerja. Seringkali guru mengeluhkan mengenai fasilitas teknologi yang belum mereka miliki, satu hal saja bahwa pengembangan pembelajaran abad 21 bisa dilakukan tanpa unsur teknologi, yang terpenting adalah guru yang baik yang bisa mengembangkan proses pembelajaran yang aktif dan kolaboratif, namun terus saja guru harus berusaha untuk menguasai teknologinya terlebih dahulu. Hal yang paling mendasar yang harus diingat bahwasanya teknologi tidak akan menjadi alat bantu yang baik dan kuat apabila pola pembelajarannya masih tradisional.
              Sementara itu, Jennifer Nicholas (2015) menyederhanakannya ke dalam prinsip pokok pembelajaran abad ke-21 yang dijelaskan dan dikembangkan seperti berikut ini.
a.   Instructional  should be student-centered
Pengembangan pembelajaran seyogyanya menggunakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa ditempatkan sebagai subyek pembelajaran yangs ecara aktif mengembangkan minat dann potensi yang dimilikinya. Siswa tidak lagi dituntut untuk mendengarkan dan menghafal materi pelajaran yang diberikan guru, tetapi berupaya mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, sesuai dengan kapasitas dan tingkat perkembangan berfikirnya, sambil diajak berkontribusi untuk memecahkan masalah nyata yang terjadi dalam masyarakat.
b.   Educational should be collaborative
Siswa harus dibelajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain. Berkolaborasi dengan orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai yang dianutnya. Dalam menggali informasi dan membangun makna, siswa perlu didorong untuk bisa berkolaborasi dengan teman-teman di kelasnya. Dalam mengerjakan suatu proyek, siswa perlu dibelajarkan bagaimana menghargai kekuatan dan talenta setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan menyesuaikan diri secara tepat dengan mereka.
c.    Learning should have contest
Perkembangan tidak akan banyak berarti jika tidak memberi dampak terhadap kehidupan siswa di luar sekolah. Oleh karena itu materi pelajaran perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Guru mengembangkan metode pembelajaran yang memungkinkan siswa terhubung dengan dunia nyata (real word). Guru membantu siswa agar dapat menemukan nilai, makna dan  keyakinan atas apa yang sedang dipelajarinya serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Guru melakukan penilaian kinerja siswa yang  dikaitkan dengan dunia nyata. 
d.   Schools should be  integrated with society
Dalam upaya mempersiapkan siwa menjadi warga negara yang bertanggung jawab, sekolah seyogyanya dapat memfasilitasi siswa untuk terlibat dalam lingkungan sosialnya. Misalnya mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat, dimana siswa dapat belajar mengambil peran dan melakukan aktivitas tertentu dalam lingkungan sosial. Siswa dapat dilibatkan dalam berbagai pengembangan program yang ada di masyarakat, seperti program kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup dan sebagainya. Selain itu, siswa perlu diajak pula mengunjungi panti-panti asuhan untuk melatih kepekaan empati dan kepedulian sosialnya.

IV.          Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam hal-hal sebagai berikut:  
A.   Pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan siswa untuk memberikan keputusan baik-buruk,  memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
B.   Pendidikan karakter yang baik, harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), tetapi juga merasakan dengan baik atau loving the good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Jadi pendidikan karakter erat kaitannya dengan ‘habit’  atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan dan dilakukan.
C.  Pendidikan karakter merupakan suatu habit, maka pembentukan karakter seseorang itu memerlukan communities of character yang terdiri atas keluarga, sekolah, institusi keagamaan, media, pemerintahan dan berbagai pihak yang mempengaruhi generasi muda. Semua communities of character tersebut hendaknya memberikan suatu keteladanan, intervensi, pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan penguatan. Dengan kata lain pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan.
D.  Pendidikan nasional abad 21 bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa,  yaitu masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan bahagia, dengan kedudukan terhormat dan setara dengan bangsa dan dunia global, melalui pembentukan masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan berkemampuan untuk mewujudkan cita-cita bangsanya.
E.   Pengembangan pembelajaran abad 21 beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: tugas utama guru sebagai perencana pembelajaran, memasukkan unsur berpikir tingkat tinggi  (Higher Order Thinking), penerapan pola pendekatan dan model pembelajaran yang bervarisi, serta integrasi teknologi.
F.   Penguatan pendidikan karakter untuk meningkatkan rasa nasionalisme dapat dilihat dari hasil siklus II yaitu: (1) penggunaan Bahasa nasional sebesar 84.68%. (2) pengetahuan lagu-lagu wajib 83.33%. (3) pengetehuan tentang rasa nasionalisme sebesar 83.55%. (4) pengetuan tentang pahlawan sebesar 82.43%. (5) sikap tentang kebudayaan daerah sebesar 76.21%. 

Saran
A.    Hendaknya guru selama pembelajaran senantiasa memberikan penguatan pendidikan karakter serta menumbuhkan rasa nasionalisme dalam diri mereka.
B.    Siswa hendaknya dituntut menguasai materi pembelajaran sehingga dalam kelompok siswa tidak bingung mendiskusikan mayteri baginya dan dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
C.   Bagi sekolah perlu dilakukan kegiatan pembelajaran pada setiap pelajaran dengan berbagai strategi dan metode, sebagai upaya menciptakan suasana belajar yang bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, Sutarjo, J.R. 2012. Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Arikunto Suharsimi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Rineka Cipta.

Dewantara, Ki Hadjar. 1962. Karya Bagian I: Pendidikan. Yogyakarta: MLPTS.

Dimerman, S. 2009. Character is The Key. Canada: Wiley.

Hosnan, M. 2016. Pendekatan Saintifik dan Konstektual Dalam pembelajaran Abad 21: Kunci Sukses Implementasi Kirikulum 21. Bogor: Ghalia Indonesia.

Yaumi, Muhammad. 2014. Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar & Implementasi. Jakarta; Prenadamedia Group.

Kemmis & Mc Taggart. 1990. The Action Research Planner. Australia: Deakin University.

Komalasari, Kokom dan Didin Saripudin. 2017. Pendidikan Karakter: Konsep dan Aplikasi Living Values Education. Bandung: Refika Aditama.

Lickona.1992. Educating for Character How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York-Toronto-London-SydneyBantam Books.

Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter (Solusi yang Tepat untuk Membangun Karakter Bangsa). Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.