SUNDA DAN POLITIK
ENDANG KOMARA
Guru Besar Kopertis IV Dpk Pada STKIP Pasundan, Ketua Dewan Pakar PB Paguyuban Pasundan dan Ketua STKIP Pasundan
Pada hari Jum’at, 26 Desember 2014 Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan Prof. Dr. Didi Turmudzi, M.Si mengundang beberapa tokoh, politikus dan akademisi untuk mengadakan diskusi akhir tahun 2014 di Program Pascasarjana Universitas Pasundan Jl Sumatera No. 41. Dengan tujuan untuk menyamakan persepsi tentang Etnis Sunda dan Politik dalam Kancah Perpolitikan Nasional.
Kegiatan tersebut berlangsung mulai pukul 14.00 s.d. 16.30 WIB yang bertindak sebagai moderator adalah Dr. Dedi Jamaludin Malik. Beliau memberikan pengantar banhwa Etnis Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia setelah Etnis Jawa, yang dalam perkembangan politik kesundaan berbagai organisasi kesundaan seperti Paguyuban Pasundan, Bamus, Damas dan lain-lain harus ada patron agar dapat memecahkan masalah strategis Jabar, terutama dalam mengoptimalkan posisi tawar nasional.
Pembicara pertama dimulai oleh Dr. Indra Prawira, Calon Hakim Mahkamah Konstitusi. Menurut analisa beliau, bahwa sejak Pemilu Legislatif 2014 Orang Sunda susah disatukan dan saling sikut. Menurut Sejarah bahwa Etnis kedua (Sunda) punya problem dan perannya tidak signifikan, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Mungkinkah orang Sunda disatukan. Dan paparan lainnya orang Sunda harus memiliki identitas, tidak perlu menjadi pemain sendirian, tidak usah monopoli salah satu organisasi kesundaan dan visi-misinya harus melahirkan manusia Sunda yang nasionalis.
Selanjutnya Prof. Dr. Dede Mariana, memaparkan bahwa Sunda punya kesadaran perpolitikan nasional sejak 1905, bahkan 1926 yang ditandai dengan terbentuknya Provinsi Pasundan. Paguyuban Pasundan sangat heterogen, tidak hanya etnis Sunda atau berbagai etnis yang sangat pluralis. Paguyuban Pasundan memperjuangkan nasionalisme yang azasnya kebangsaan dengan terbentuknya Parki pada tahun 1950. Paguyuban Pasundan merupakan organisasi orang Sunda yang bergerak dalam bidang pendidikan (homogen).
Menurut Dede Mariana, bahwa reposisi dapat dilakukan secara perorangan maupun kelembagaan dalam konteks perpolitikan, seperti membentuk partai politik, menyebar di berbagai partai politik, memperkuat civil society, partisipasi politik seluas-luasnya sampai dapat menduduki jabatan politik yang strategis.
Selanjutnya Prof. Dr. Ganjar Kurnia, DEA, rektor UNPAD mengajukan tesisnya: Untuk apa ke Jakarta. Beberapa bulan yang lalu dipablis di Harian Umum Pikiran Rakyat. Harapan-harapan kita mewakapkan mereka untuk keindonesiaan, misalnya sejumlah 42 orang alumni UNfPAD menduduki Eselon 1, dan sejumlah 112 eselon 1 yang berasal dari etnis Sunda tidak dapat meningkatkan kesundaan. Ganjar selanjutnya mengungkapkan, mari bangun Jawa Barat dengan berbagai kedudukan atau jabatan, mulai Rukun Tetangga sampai dengan Menteri. Nilai kesundaan merupakan konsensus dengan visi dan misi. Pertama, visinya mikanyaan karakyatna dan jangan membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak rakyat; cinta lemah cai dan; rumawat budayanya. Kedua, memperkuat nilai-nilai di dalam kesundaan yakni silih asah, silih asih dan silih asuh. Ketiga, terjadi konsensus. Karena kebudayaan merupakan proses interaksi, jangan ukurannya hubungan darah. Namun selama berkontribusi terhadap ketiga aspek tersebut di atas harus tetap terpelihara dan terjaga..