MERDEKA BELAJAR DAN PEMBELAJARAN HOTS
ENDANG KOMARA
Guru Besar Sosiologi Pendidikan LLDIKTI Wilayah IV Dpk pada STKIP Pasundan, Ketua Paguyuban Profesor LLDIKTI Wilayah IV, Ketua Dewan Pakar DPP GNP TIPIKOR dan Peserta Seleksi JPT Madya Kemendikbud RI Tahun 2020 |
Merdeka belajar merupakan salah satu program inisiatif Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mas Nadiem Anwar Makarim yang disampaikan dalam Diskusi Standar Nasional Pendidikan, di Hotel Century Park, Jakarta Pusat pada Jum’at, 13 Desember 2019. Mas Menteri menginginkan menciptakan suasana belajar yang bahagia dan suasana yang happy. Tujuan merdeka belajar agar para guru, peserta didik serta orang tua bisa mendapat suasana yang bahagia. Merdeka belajar itu bahwa proses pendidikan harus menciptakan suasana yang membahagiakan bagi guru, peserta didik, orang tua dan bahagia untuk semua orang.
Merdeka belajar dan guru penggerak bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia pembelajaran. Penganut ideologi humanistik dalam pembelajaran telah mendiskusikan secara mendalam dua tema tersebut lebih dari setengah abad yang lalu. Pada tahun 1969 Carl Rogers mempublikasikan sebuah buku yang berjudul: ‘’Freedom to learn’’. Pada pengantar buku tersebut, lima puluh tahu lalu, ia mengatakan: ‘’Sekolah kita umumnya sangat tradisional, konservatif, birokratis dan resisten terhadap perubahan. Satu cara yang harus dilakukan untuk menyelamatkan generasi muda ini adalah melalui kemerdekaan belajar’’. Pada tahun 1962 Everett M. Rogers dan David G. Cartano menulis buku berjudul:’’Difussion of Innovation’’, dimana pada buku tersebut memuat satu bab tersendiri tentang penggerak atau agent of changes.
Kemerdekaan sebagai salah satu kunci pengembangan dan pembinaan guru, memiliki komitmen pada tujuan, mandiri dalam proses belajar-mengajar dan merefleksi selama pengembangan profesi berkelanjutan. Pertama, guru yang merdeka memilki komitmen pada tujuan belajar. Dia memahami mengapa perlu mengajarkan materi atau keterampilan tertentu. Kita hanya bisa komitmen pada saat target ditetapkan oleh diri sendiri, bukan suatu tujuan yang ditetapkan oleh pengawas dan pejabat pendidikan. Semua dari kita yang setiap hari bergerak, bergiat, memahami sulitnya konsistensi terhadap tujuan. Salah satu tantangan ini adalah membedakan cara dengan tujuan. Guru terjebak pada tugas administratif, terjebak pada ketentuan birokrasi sehingga ujian, akreditasi, nilai yang sebetulnya hanyalah cara lalu kemudian menjadi tujuan dan prioritas utama. Kedua, guru yang merdeka adalah guru yang mandiri, memahami bahwa ia memerlukan strategi yang efektif buat dirinya agar bisa meningkatkan kompetensi, memperluas kolaborasi dan mengembangkan karier. Kemandirian jelas banyak tingkatannya. Sayangnya masih banyak sekali upaya pengembangan guru yang penuh dengan manipulasi. Banyak ketentuan, banyak jabatan, banyak uang yang kemudian membuata proses guru belajar dan semangat guru belajar itu menjadi sesuatu yang masih sulit buat sebagian kita. Sebagian dari kita berhenti mungkin di anak tangga ketiga dari tahapan kemandirian guru, menjadi teman interaksi atau memberikan masukan tapi masih jauh perjalanannya untuk sampai berbuat dan memegang kendali dan proses belajar kita sendiri. Ketiga, guru yang merdeka adalah guru yang reflektif. Memahami kekuatannya dan mengenali area yang perlu dikembangkan, serta terus menerus memantau proses belajarnya untuk memahami keterkaitan dan keberlanjutan antara setiap tahapan. Refleksi ini juga mudah dikatakan tapi sulit sekali dilakukan.
Empat program pokok kebijakan pendidikan tersebut akan menjadi arah pembelajaran ke depan yang fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Merdeka Belajar dijabarkan dalam 4 (empat) kebijakan yang meliputi: Pertama, Penilaian USBN komprehensif yaitu penyelenggaraan USBN (Ujian Sekolah Berbasis Nasional) tahun 2020 akan dilakukan dengan ujian yang diselenggarakan oleh sekolah. Ujian tersebut dilakukan untuk menilai kompetensi siswa dan dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian komprehensif seperti portofolio dan penugasan. Portofolio ini nantinya dapat dilakukan melalui tugas kelompok, karya tulis, maupun sebagainya. Anggaran USBN nantinya akan dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah guna meningkatkan kualitas pembelajaran. Kedua, UN 2020 merupakan UN terakhir. Penyelenggaraan UN tahun 2021 akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter. Pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan siswa yang berada di tengah jenjang sekolah (misalnya kelas 4, 8 dan kelas 11) sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Kemudian, hasil ujian ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya. Arah kebijakan ini juga mengacu pada praktik baik pada level internasional, seperti PISA (Programme for International Student Assesment) dan TIMSS (The Third International Mathematic and Science Study). Ketiga, penyederhanaan terkait penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Kemendikbud akan menyederhanakannya dengan memangkas beberapa komponen. Dalam kebijakan baru tersebut, guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP. Tiga komponen inti RPP terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan assesment. Penulisan RPP dilakukan secara efektif dan efisien sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mepersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Keempat, zonasi lebih fleksibel dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), Kemendikbud tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50%, jalur afirmasi minimal 15%, dan jalur perpindahan maksimal 5%. Untuk jalur prestasi atau sisa 0-30% lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah. Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi.
Dengan adanya empat arah kebijakan ini, kita berharap pemerintah daerah dan pusat dapat bergerak bersama dalam memeratakan akses dan kualitas pendidikan. Pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan inisiatif lainnya oleh pemerintah daerah, seperti distribusi guru ke sekolah yang kekurangan serta memberikan lemerdekaan kepada guru.
Higher Order Thinking Skills (HOTS) akan berkembang jika individu menghadapi masalah yang tidak dikenal, pertanyaan yang menantang, atau menghadapi ketidakpastian. Menurut Lewis dan Smith (1993:23), bahwa berpikir tingkat tinggi akan terjadi jika seseorang memiliki informasi baru, kemudian menghubungkan dan menyusun dan mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan atau memperoleh jawaban atau solusi untuk suatu situasi yang membingungkan.
Karakteristik pembelajaran berbasis HOTS, antara lain: Pertama, aktif dalam berpikir. Pembelajaran berbasis HOTS harus membuat semua siswa aktif dalam berpikir. Peran guru tidak begitu dominan dalam proses pembelajaran, namun lebih berperan sebagai fasilitator untuk memberi kemudahan bagi siswa dalam berpikir. Oleh sebab itu guru harus mempersiapkan tugas yang dapat membuat siswa berpikir kreatif, kritis dan menyelesaikan masalah. Kedua, memformulasikan masalah. Hal ini sesuai dengan pendapat Silver dan Cai (1996:87) bahwa pengajuan masalah dan penyelesaian masalah dapat digunakan untuk mengidentifikasi kreativitas individu. Ketiga, mengkaji permasalahan kompleks. Maksudnya permasalahan yang diselesaikan tidak hanya dengan mengingat atau menerapkan strategi yang telah umum diketahui. Keempat, berpikir divergen dan mengembangkan ide. Pengembangan kreativitas sangat membutuhkan kemampuan berpikir divergen. Melatih siswa untuk berpikir divergen akan mengembangkan kemampuan mereka dalam megajukan beberapa ide yang berbeda. Kelima, mencari informasi dari berbagai sumber. Dapat dilakukan di kelas atau di luar kelas melalui penugasan. Sebaiknya siswa dilatih untuk membuat pertanyaan yang akan dicari informasinya atau solusinya dari berbagai sumber yang berbeda. Keenam, berpikir kritis dan menyelesaikan masalah secara kreatif. Aktivitas belajar dengan melatih siswa untuk berpikir kritis akan berguna bagi siswa mengevaluasi ide baru, memilih yang terbaik dan melakukan modifikasi yang diperlukan. Jadi pembelajaran HOTS harus memberikan kesempatan pada siswa untuk terbiasa berpikir kritis dalam menghadapi suatu persoalan atau ketika menerima suatu informasi. Ketujuh, berpikir analitik, evaluatif dan membuat keputusan. Aktivitas belajar membuat keputusan dapat dicirikan ketika siswa diminta memilih suatu cara diantara beberapa cara alternatif yang tersedia.
Dengan demikian, melalui merdeka dalam belajar diharapkan pembelajaran di kelas bersifat diskusi, problem solving, dan higher order thinking skills. Diharapkan peserta didik mempunyai kompetensi akademik, menguasai literasi baru dan keterampilan abad-21 yang baik, sebagai modal dasar pembangunan nasional dan dunia juga warga negara yang baik, memiliki moralitas, empati, toleran, problem solvers bagi pembangunan nasional dan dunia, yang akhirnya mempunyai hasrat untuk memimpin, mengubah Indonesia dan dunia menjadi lebih baik.