PENGARUH MODEL COOPERATIVE INTEGRATED READING AND COMPOSITION (CIRC) TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN HIGHER ORDER THINKING SKILLS ( HOTS) PADA PEMBELAJARAN IPS SISWA KELAS VIII DI SMPN 15 KOTA BANDUNG
Oleh:
Endang Komara (Guru Besar Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di STKIP Pasundan dan Maya Solihah (Guru SMK Pajajaran Bandung)
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui penerapan Model Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) terhadap peningkatan kemampuan Higher Order Thinking Skills (HOTS) pada pembelajaran IPS siswa kelas VIII SMPN 15 Bandung. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Non Equivalent Control Group Design. Sampel yang diteliti yaitu dua kelas pada kelas VIII-1 & kelas VIII-4 dengan menggunakan Teknik Purposive Sampling. Pengumpulan data penelitian menggunakan instrumen test dan non test (kuesioner). Hasil perhitungan nilai rataan n-gain yang menunjukkan bahwa pada kelas kontrol nilai n-gain sebesar 0,39 yang berarti peningkatan Higher Order Thinking Skills dengan model pembelajaran konvensional dikategorikan sedang/cukup, sedangkan nilai rataan n-gain yang menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen sebesar 0,71 yang berarti peningkatan Higher Order Thinking Skills dengan model Cooperative Intergrated Reading and Composition (CIRC) dikategorikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa model Cooperative Integrated Reading and Compasition (CIRC) memberikan peningkatan atau pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan model pembelajaran konvensional. Berdasarkan analisis data denganindependent sample t test diperoleh nilai Sig. (2 -tailed) sebesar 0,000 maka H0 ditolak, sehingga terdapat perbedaan kemampuan Higher Order Thinking Skills (HOTS) siswa yang belajar dengan model Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) dengan kelas konvensional, yang berarti adanya pengaruh penerapan model Cooperative integrated Reading and Composition (CIRC) terhadap Higher Order Thinking Skills (HOTS) siswa.
Kata Kunci: Pengaruh, Pembelajaran Model CIRC, Berpikir HOTS, Pembelajaran IPS.
PENDAHULUAN
Pembelajaran IPS hendaknya mengacu pada pola pengembangan potensi siswa secara optimal melalui pembekalan dan pemberian kesempatan yang luas kepada siswa untuk belajar, sehingga siswa mampu mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, moral, dan keterampilan sosial. Kondisi ini memungkinkan siswa untuk berlatih dalam mengembangkan kemampuan dan budaya berpikir kritis dalam menyikapi kehidupan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, kemampun berpikir kritis perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPS.
Karakteristik pelajaran IPS di SMP yang terintegrasi dari mata pelajaran Geografi, Sejarah, Ekonomi dan Sosiologi, sehingga banyak kajian materi yang bersumber dari refrensi buku pelajaran, maka untuk itu diperlukan suatu model pembelajaran yang dimasukkan unsur-unsur membaca sehingga siswa memiliki kebiasaan membaca yang pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Dengan demikian diperlukan implementasi suatu pembelajaran yang menekankan pada kegiatan memberi dan menerima informasi atau pengetahuan secara dinamis, salah satunya adalah melalui model pembelajaran Comparative Integrated Reading Composition (CIRC).
Model pembelajaran CIRC merupakan model kooperatif yang komprehensif untuk menyampaikan pembelajaran melalui membaca, menulis dan mempresentasikan. Hal ini sependapat dengan Suprijono (2011:11), bahwa tujuan utama dari model ini adalah meningkatkan berpikir kritis, kreatif, dan menumbuhkan sikap sosial melalui pembentukan tim kooperatif untuk membantu siswa mempelajari dan memahami bacaan yang dapat diaplikasikan secara luas, selain itu, proses pembelajaran model ini juga dapat mendidik siswa untuk berinteraksi dengan lingkungan. Dengan demikian model pembelajaran CIRC merupakan komposisi kepada membaca dan menulis secara kooperatif dalam kelompok.
Kelebihan model CIRC dalam proses pembelajaran yaitu memberikan keleluasaan kepada siswa untuk menyampaikan tanggapannya secara bebas. Siswa dilatih untuk bekerjasama dan menghargai pendapat orang lain. Adapun tahapan pembelajaran CIRC menurut Lestari dan Yudhanegara (2015:43), yaitu: partner reading, story structure and related writing, words and loud, word meaning, story re tell, and reflection.
Salah satu model pembelajaran kooperatif yang dapat meningkatkan proses pembelajaran IPS siswa serta proses interaksi antar individu yaitu tipe Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC). Model pembelajaran CIRC, siswa ditempatkan dalam kelompok kecil yang heterogen, yang terdiri dari 4 (empat) atau 5 (lima) siswa. Syarat kelompoknya tidak dibedakan atas jenis kelamin, suku/bangsa, atau tingkat kecerdasan siswa. Jadi dalam kelompok ini sebaiknya ada siswa yang pandai, sedang dan lemah, dan masing-masing siswa merasa cocok satu sama lain. Dengan pembelajaran kooperatif diharapkan para siswa dapat meningkatkan cara berpikir kritis, kreatif dan dapat menumbuhkan sikap sosial yang tinggi.
Berkenaan dengan pengembangan kemampuan berpikir kritis, maka Lasmawan (2013:44) memandang bahwa Pendidikan IPS memiliki potensi yang potensial bagi upaya pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa, melalui penciptaan iklim belajar siswa yang aktif, kritis, kreatif, terbuka, fungsional dan aplikatif. Dalam hal ini proses Pendidikan melalui pembelajaran IPS merupakan media yang efektif untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi disebut Higher Order Thinking Skills (HOTS), merupakan kegiatan berpikir yang melibatkan level kognitif hirarki dari taksonomi berpikir Bloom.
HOTS merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran dimana siswa diajarkan untuk berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif dan berpikir kreatif. Kemampuan berpikir ini akan muncul ketika individu atau siswa dihadapkan pada masalah yang belum mereka temui sebelumnya. Saat ini teori yang berkembang tentang Higher Order Thinking Skills (HOTS) lebih banyak difokuskan tentang bagaimana keterampilan ini dipelajari dan dikembangkan. Strategi pengajaran yang tepat serta lingkungan belajar yang dapat memfasilitasi kemampuan berpikir kritis siswa merupakan faktor yang penting untuk tercapainya pendekatan ini. Seperti halnya ketekunan siswa, pemantuan diri, dan berpikir terbuka serta sikap fleksibel. Keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills) mencakup kemampuan berpikir kritis, logis, fleksibel, metakognitif, dan kreatif.
Beberapa karakteristik pembelajaran berbasis HOTS di antaranya: aktif dalam berpikir, memformulasikan masalah, mengkaji permasalahan kompleks, mengembangkan ide, mencari informasi dari berbagai sumber, berpikir kritis dan menyelesaikan masalah secara kreatif, dan berpikir analitik dalam membuat keputusan. Pada umumnya guru ingin membuat siswanya dapat berpikir kreatif. Hal ini sejalan dengan pendapat Higgins dkk (2005:4), guru harus menerapkan pembelajaran yang dapat mengarahkan siswa untuk berpikir kreatif, sehingga penerapan pendekatan dan strategi pembelajaran tertentu harus diikuti dengan mekanisme untuk memantau proses kreatif yang terjadi. Berpikir tingkat tinggi diperlukan kemampuan bernalar. Dimana kemampuan bernalar dan berpikir kritis ini saling berhubungan. Hal tersebut relevan dengan pendapat Kaufman dan Sternberg (2007) dalam buku Pembelajaran HOTS dan Sani (2019:6), bahwa seorang yang kreatif harus memiliki pengetahuan luas dalam berbagai bidang ilmu dan menguasai satu atau bidang secara mendalam.
Mengembangkan kemampuan berpikir kritis akan membantu siswa melihat potensi diri, sehingga siswa sudah terlatih menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi, termasuk sejauhmana kemampuan yang dimiliki. Siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis akan mampu menyelesaikan masalah dengan tepat dan tidak menimbulkan masalah baru, karena adanya pertimbangan dari berbagai sisi. Dengan memiliki kemampuan berpikir kritis, siswa diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Atas dasar hal tersebut perbaikan mutu pembelajaran seharusnya dilakukan dengan upaya memenuhi kebutuhan siswa untuk hidup di masyarakat pada masa persaingan baik lokal maupun global. Maka dengan demikian, kemampuan berpikir kritis sangat penting untuk diajarkan dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Adapun tujuan penelitian adalah, sebagai berikut: Pertama, menganalisis pelaksanaan pembelajaran model CIRC dalam pembelajaran IPS di SMPN 15 Kota Bandung. Kedua, mengetahui pengaruh pembelajaran model CIRC terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills) dalam pembelajaran IPS. Ketiga, mengetahui perbedaan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills) siswa sebelum dan sesudajh diterapkan pembelajaran model CIRC dalam pembelajaran IPS.
KAJIAN TEORETIS
Cooperative Integrated Reading and Compusation (CIRC) merupakan salah satu model pembelajaran Cooperative Learning yang pada mulanya merupakan pembelajaran kooperatif terpadu membaca dan menulis (Slavin, 2010:203) yaitu sebuah program komprehensif atau luas dan lengkap untuk pembelajaran membaca dan menulis. Model pembelajaran ini terus mengalami perkembangan mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga sekolah menengah. Proses pembelajaran ini mendidik siswa berinteraksi sosial dengan lingkungannya.
Pada model CIRC, setiap siswa bertanggung jawab terhadap tugas kelompok. Setiap anggota kelompok saling mengeluarkan ide untuk memahami suatu konsep dan menyelesaikan tugas (task), sehingga terbentuk pemahaman dan pengalaman belajar yang sama. Fokus utama kegiatan CIRC penggunaan waktu lebih efektif. Selanjutnya siswa dikondisikan dalam tim kooperatif yang kemudian dikoordinasikan dalam tim membaca supaya memenuhi tujuan lain seperti pemahaman membaca, kosa kata, pembacaan pesan, dan ejaan serta berpikir kritis. Dengan begitu siswa termotivasi untunk saling bekerja sama dalam sebuah tim (Slavin, 2010:202-204).
Sementara itu, Steven (Huda, 2013:222) mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membentuk kelompok yang masing-masing kelompok terdiri 4 (empat) orang.
2. Guru memberikan materi bahan bacaan sesuai dengan topik pembelajaran.
3. Siswa bekerjasama saling membacakan dan menemukan ide pokok yang terdapat dalam wacana kemudian memberikan tanggapan terhadap wacana yang ditulis pada lembar kertas.
4. Siswa mempresentasikan atau membacakan hasil diskusi kelompok.
5. Guru memberikan pengulangan (reinforcement).
6. Guru dan siswa bersama-sama membuat kesimpulan.
Selanjutnya Slavin (2010:205-212) mengemukakan delapan komponen dalam pembelajaran CIRC, sebagai berikut: Pertama, teams yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri atas 4 atau 5 peserta didik. Kedua, placement teset milsalnya diperoleh dari rata-rata nilai ulangan harian sebelumnya atau berdasarkan nilai raport agar guru mengetahui kelebihan dan kelemahan peserta didik pada bidang tertentu. Ketiga, student creative, melaksanakan tugas dalam suatu kelompok dengan menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya. Keempat, team study yaitu tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberikan bantuan kepada kelompok yang membutuhkannya. Kelima, team scorer and team recognition, yaitu pemberian skor terhadap hasil kerja kelompok dan memberikan kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil secara cemerlang dan kelompok yang dipandang kurang berhasil dalam menyelesaikan tugas. Keenam, teaching group yakni memberikan materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok. Ketujuh, fact test yakni pelaksanaan tes atau ulangan berdasarkan fakta yang diperoleh peserta didik. Kedelapan, whole class units yaitu pemberian materi rangkuman oleh guru diakhir waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah.
Pembelajaran Cooperative Integrated Reading Composition menuntut peserta didik bertanggung jawab terhadap setiap anggota kelompok. Setiap anggota kelompok saling mengeluarkan ide untuk memahami suatu konsep dan menyelesaikan tugas, sehingga terbentuk pemahaman dan pengalaman belajar yang lama. Sintakmatik model CIRC menurut Steven (Huda, 2013:222) sebagai berikut:
Fase pertama, yaitu orientasi. Pada fase ini guru melakukan apersepsi dan pengetahuan awal peserta didik tentang materi yang akan diberikan. Selain itu juga memaparkan tujuan pembelajaran yang akan dilakukan kepada peserta didik. Fase kedua, yaitu organisasi guru membagi peserta didik ke dalam beberapa kelompok dengan memperhatikan heterogenitas akademik. Membagikan bahan bacaan tentang materi yang akan dibahas kepada peserta didik. Selain itu menjelaskan mekanisme diskusi kelompok dan tugas yang harus diselesaikan selama proses pembelajaran berlangsung. Fase ketiga, yaitu pengenalan konsep. Dengan cara mengenalkan tentang suatu konsep baru yang mengacu pada hasil penemuan selama eksplorasi. Pengenalan ini bisa didapat dari keterangan guru, buku paket, film, kliping, poster atau media lainnya. Fase keempat, yaitu publikasi. Peserta didik mengkomunikasikan hasil temuannya, membuktikan, memperagakan materi yang dibahas baik dalam kelompok maupun di depan kelas. Fase kelima, yaitu fase penguatan dan refleksi. Dalam fase ini guru memberikan penguatan berhubungan dengan materi yang dipelajari melalui penjelasan ataupun memberikan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya peserta didik pun diberi kesempatan untuk merefleksikan dan mengevaluasi hasil pembelajarannya.
Higher Order Thinking Skills (HOTS) akan berkembang jika individu menghadapi masalah yang tidak dikenal, pertanyaan yang menantang atau menghadapi ketidakpastian. Menurut Lewis dan Smith (1993:23) berpikir tingkaat tinggi akan terjadi jika seseorang memiliki informasi yang disimpan dalam ingatan dan memperoleh informasi baru, kemudian menghubungkan dan menyusun serta mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan atau memperoleh jawaban atau solusi untuk suatu situasi yang membingungkan.
Aktivitas siswa dalam pembelajaran HOTS sebagai berikut: Pertama, aktif dalam berpikir. Pembelajaran berbasis HOTS harus membuat semua siswa aktif dalam berpikir. Peran guru tidak begitu dominan dalam proses pembelajaran, namun lebih berperan sebagai fasilitator untuk memberi kemudahan bagi siswa dalam berpikir. Oleh sebab itu guru harus mempersiapkan tugas yang dapat membuat siswa berpikir kreatif, kritis, dan menyelesaikan masalah. Kedua, memformulasikan masalah. Pembelajaran yang membuat siswa harus memformulasikan masalah merupakan pembelajaran berbasis HOTS.
Menurut Silver dan Cai (1996:87) berpendapat bahwa pengajuan masalah dan penyelesian masalah dapat digunakan untuk mengidentifikasi kreativitas individu. Ketiga, mengkaji permasalahan kompleks. Permasalahan yang dikaji dalam pembelajaran berbasis HOTS adalah permasalahan yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengingat atau menerapkan strategi yang telah umum diketahui. Keempat, berpikir divergen dan mengembangkan ide. Pengembangan kreativitas sangat membutuhkan kemampuan berpikir divergen. Melatih siswa untuk berpikir divergen akan mengembangkan kemampuan mereka dalam mengajukan beberapa ide yang berbeda. Kelima, mencari inormasi dari berbagai sumber. Pembelajaran dengan menugaskan siswa untuk mencari informasi dari berbagai sumber dapat dilakukan di kelas atau di luar kelas melalui penugasan. Sebaiknya siswa dilatih untuk membuat pertanyaan yang akan dicari infomasinya atau solusinya dari berbagai sumber yang berbeda. Keenam, berpikir kritis dan menyelesaikan masalah secara kreatif. Aktivitas belajar dengan melatih siswa untuk berpikir kritis akan berguna bagi siswa mengevaluasi ide baru, memilih yang terbaik dan melakukan modifikasi yang diperlukan. Jadi pembelajaran berbasis HOTS harus memberikan kesempatan pada siswa untuk terbiasa berpikir kritis dalam menghadapi suatu persoalan atau ketika menerima suatu informasi. Ketujuh, berpikir analitik, evaluatif dan membuat keputusan. Aktivitas belajar membuat keputusan dapat dicirikan ketika siswa diminta memilih suatu cara diantara beberapa alternatif yang tersedia.
Pengembangan IPS di Indonesia banyak mengambil ide-ide dari pendapat yang dikembangkan di Amerika Serikat. Tujuan, materi dan penegasannya dikembangkan sendiri sesuai dengan tujuan nasional dan aspirasi masyarakat Indonesia. Hal ini didasarkan pada realitas, gejala dan masalah sosial yang menjadi kajian IPS yang tidak sama dengan negara lain. Setiap negara memiliki perkembangan dan model pengembangan social studies yang berbeda.
Menurut Somantri (2010:95), IPS adalah suatu kajian dari berbagai disiplin ilmu yang tidak hanya ilmu sosial akan tetapi juga ilmu lainnya yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Hal yang dikaji adalah tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Tema yang dikaji yaitu fenomena yang terjadi di masyarakat baik masa lalu, masa sekarang dan masa mendatang. Tujuan utama dari pembelajaran IPS adalah untuk melatih para siswa menjadi warganegara yang mampu mengambil keputusan secara demokratis dan rasional yang dapat diterima oleh semua golongan yang ada di dalam masyarakat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Richard E. Gross, dkk (1978:3), bahwa IPS adalah dasar pendidikan sosial, dalam mempersiapkan fungsi warga negara dengan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap yang memungkinkan masing-masing warga negara tersebut dapat tumbuh secara personal antara yang satu dengan yang lainnya secara baik.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan, pertama, bahwa IPS merupakan pelajaran yang berkaitan dengan kehidupan individu baik sebagai warga negara maupun masyarakat. Individu yang diharapkan dalam IPS adalah individu yang saling berinteraksi antara yang satu dengan lainnya. Interaksi yang diharapkan adalah interaksi yang bisa membangun kehidupan yang lebih baik. Sebab secara sosiologis dan politis, apabila individu tersebut memiliki yang baik secara otomatis menunjukkan sebagai warga negara yang baik. Interaksi individu bukan hanya sesama manusia akan tetapi interaksi juga dilakukan dengan lingkungan, baik sosial maupun alam. Kedua, IPS menuntut adanya pengetahuan, keterampilan dan sikap. Untuk menjadi warga negara yang baik, IPS memberikan bekal pengetahuan yang biasanya lebih menekankan pada aspek kognitif. Misalnya pengetahuan tentang apa yang menjadi penyebab terjadinya urbanisasi, apa yang menyebabkan terjadinya COVID-19 dan sebagainya. Keterampilan dan sikap lebih banyak menuntut terhadap apa yang dapat ditunjukkan oleh siswa dalam bentuk kinerja. Keterampilan dalam IPS memiliki arti yang lebih luas yang biasa disebut keterampilan sosial.
DESAIN PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Non Equivalent Control Group Design. Sampel yang akan diteliti yaitu 2 (dua) kelas, yakni kelas VIII-1 dan VIII-4 yang diambil dengan menggunakan Teknik Purposive Sampling. Pengumpulan data penelitian itu menggunakan instrument test dan non test (kuesioner).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, secara keseluruhan variabel kemampuan HOTS siswa dalam pembelajaran kooperatif Tipe CIRC mendapatkan skor 1664 dengan persentase sebesar 81,8% yang menunjukkan kategori baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe model Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) kemampuan berpikir siswa tingkat tinggi dinilai baik. Dari analisis tersebut, dimensi yang memiliki persentase tertinggi adalah komunikasi, yaitu 81,8% sedangkan dimensi yang memiliki persentase terendah adalah berpikir kritis dan pemecahan masalah sebesar 80,5% namun kedua dimensi tersebut masih tergolong dalam kategori baik.
Secara keseluruhan variabel kemampuan HOTS siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe CIRC dimensi komunikasi memiliki skor 419 dengan persentase sebesar 81,8%. Pada dimensi komunikasi pernyataan mengenai: ‘’Bahwa informasi dari guru dapat saya pahami’’ memiliki persentase terbesar, sedangkan persentase terendah mengenai ‘’Komunikasi antar bagian dalam setiap kelas terjalin dengan baik’’. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat siswa yang merasa komunikasi antar siswa dalam setiap kelas belum terjalin dengan cukup baik.
Hasil penelitian dimensi kolaborasi memiliki skor sebesar 518 dengan persantase sebesar 80,9%. Pada dimenasi kolaborasi pernyataan mengenai: ‘’Bekerjasama antara guru dan siswa terdapat peran dan tanggung jawab secara baik’’, memiliki persentase terbesar, sedangkan persentase terendah mengenai: ‘’Tanggapan dari teman yang berbeda pendapat adalah tantangan’’. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat siswa yang merasa tanggapan yang berbeda dari teman bukan merupakan sebuah tantangan.
Dimensi berpikir kritis dan pemecahan masalah memiliki skor sebesar 515 dengan persentase sebesar 80,5%. Pada dimensi berpikir kritis dan pemecahan masalah pernyataan mengenai: ‘’Menurut saya bahwa dalam pembelajaran berbasis HOTS dalam IPS sangat menguji kemampuan untuk dapat berpikir secara kritis’’, memiliki persentase terbesar, sedangkan persentase terendah mengenai: ‘’Saya mempunyai kesimpulan dengan melihat buku paket IPS materinya sangat membosankan’’. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat siswa yang merasa dengan melihat buku paket IPS materinya tidak membosankan.
Sedangkan dimensi kreativitas dan inovasi memiliki skor sebesar 828 dengan persentase sebesar 82,8%. Pada dimensi kreativitas dan inovasi pernyataan mengenai: ‘’Gagasan baru dalam pembelajaran IPS merupakan hal yang sangat penting untuk menambah wawasan dalam perkembangan era Revolusi Industri 4.0’’, memiliki persentase terbesar, sedangkan persentase terendah mengenai: ‘’Guru selalu memberikan pernyataan yang berkaitan dengan fenomena atau kejadian yang sedang marak terjadi’’. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat siswa yang merasa guru jarang memberikan pernyataan yang berkaitan dengan fenomena yang sedang marak terjadi,
Menurut Lewis dan Smith (1993:23) berpikir tingkat tinggi akan terjadi jika seseorang memiliki informasi yang disimpan dalam ingatan dan memperoleh informasi baru, kemudian menghubungkan dan menyusun/ mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan atau memperoleh jawaban atau solusi untuk suatu situasi yang membingungkan. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) merupakan salah satu model pembelajaran Cooperative Learning yang pada mulanya merupakan pembelajaran kooperatif terpadu membaca dan menulis (Slavin, 2010:203) yaitu sebuah program komprehensif atau luas dan lengkap untuk pembelajaran membaca dana menulis.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pretest kemampuan Higher Order Thinking Skills (HOTS) awal pada kelas kontrol diperoleh nilai rata-rata sebesar 50,82 sedangkan pada kelas eksperimen diperoleh rata-rata sebesar 49,61. Dari kedua nilai tersebut menunjukkan bahwa selisih tidak berbeda jauh. Hal ini mengindikasikan baik kelas kontrol maupun kelas eksperimen memiliki kemampuan awal yang sama dalam hal kemampuan Higher Order Thinking Skills (HOTS). Berdasarkan hasil perhitungan memperlihatkan nilai posttest kemampuan Higher Order Thinking Skills (HOTS) pada kelas kontrol nilai rata-rata sebesar 70,2 sedangkan pada kelas eksperimen diperoleh rata-rata 85,14. Sehingga, kemampuan Higher Order Thinking Skills (HOTS) mengalami perubahan yang positif setelah diterapkan model Cooperative Integrated Reading Composition (CIRC). Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh melalui penerapan model Cooperative Integrated reading and Composition (CIRC) berjalan dengan baik.
Berdasarkan perhitungan nilai rataan n-gain yang menunjukkan bahwa kelas control nilai n-gain sebesar 0,39 yang berarti peningkatan kemampuan Higher Order Thinking Skills (HOTS) dengan model pembelajaran konvensional dikategorikan sedang/cukup, sedangkan nilai rataan n-gain yang menunjukkan bahwa kelas eksperimen sebesar 0,71 yang berarti peningkatan kemampuan Higher Order Thinking Skills (HOTS) dengan model Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) dikategorikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa model Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) memberikan peningkatan yang lebih tinggi dibanding model pembelajaran konvensional.
Hasil pengujian hipotesis menggunakan independent samples t-Test diperoleh nilai Sig.2-tailed sebesar 0,000 sehingag H0 ditolak yang artinya terdapat perbedaan kemampuan Higher Order Thinking Skills (HOTS) siswa dengan model Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) terhadap kemampuan Higher Order Thinking Skills (HOTS) siswa. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran CIRC efektif diterapkan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan HOTS di SMPN 15 Bandung. Hal ini dikarenakan CIRC dapat meningkatkan kinerja peserta didik dalam tugas-tugas akademik, unggul dalam membantu peserta didik menumbuhkan kemampuan berpikir kritis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mudawati (2008;72), bahwa pembelajaran kooperatif model CIRC secara aktif melibatkan kecerdasan interpersonal, mengajar peserta didik untuk bekerjasama yang baik dengan orang lain, mendorong kolaborasi, berkompromi dan bermusyawarah mencapai kesepakatan dan menyiapkan mereka untuk masuk dalam dunia hubungan personal.
KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pembelajaran IPS di SMPN 15 Kota Bandung dinilai telah berjalan dengan baik, dimana model pembelajaran CIRC siswa memiliki tanggapan yang tinggi terhadap metode pembelajaran dengan persentase skor sebesar 83,6%. Hal ini dikarenakan Cooperative Integrated Reading and Composition dapat meningkatkan kinerja peserta didik dalam tugas-tugas akademik, unggul dalam membantu peserta didik menumbuhkan kemampuan berpikir kritis.
2. Nilai pretest kemampuan Higher Order Thinking Skills (HOTS) awal pad akelas kontrol diperoleh nilai rata-rata sebesar 50,82 sedangkan pad akelas eksperimen diperoleh rata-rata sebesar 49,61. Dari kedua nilai tersebut menunjukkan bahwaselisih tidak berbeda jauh. Hal ini mengindikasikan baik kelas kontrol maupun kelas eksperimen memiliki kemampuan awal yang sama dalam Higher Order Thinking Skills (HOTS). Sedangkan nilai posttest kemampuan Higher Order Thinking Skills (HOTS) siswa pada kelas kontrol diperoleh nilai rata-rata sebesar 70,2, sedangkan pad akelas eksperimen diperoleh rata-rata sebesar 85,14. Sehingga, kemampuan Higher Order Thinking Skills (HOTS) mengalami perubahan yang positif setelah diterapkan model Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC). Hasil perhitungan nilai rata-rata n-gain yang menunjukkan bahwa pada kelas kontrol nilai n-gain sebesar 0,39 yang berarti peningkatan HOTS dengan model pembelajaran konvensional dikategorikan sedang/cukup, sedangkan nilai rataan n-gain yang menunjukkan bahwa pad akelas eksperimen sebesar 0,71 yang berarti peningkatan HOTS dengan model CIRC dikategorikan tinggi. Hal ini menunjukkanbahwa model CIRC memberikan peningkatan/pengaruh yang lebih tinggi dibanding model pembelajaran konvensional.
3. Berdasarkan analisis data dengan independent sample t-test diperoleh nilai Sig. (2-tailed) sebesar 0,000 maka H0, sehingga terdapat perbedaan kemampuan Higher Order Thinking Skills (HOTS) siswa yang belajar dengan model Cooperative IntegratedReading and Composition (CIRC) dengan kelas konvensional, yang berarti adanya pengaruh penerapan model CIRC terhadap HOTS siswa.
4.
DAFTAR PUSTAKA
Higgins S., Hall, E., Boumfield, V., & Moseley, D. 2005. Metta-Analysis of The Imfact of the Implementation of Thinking Skills Approaches on Pupils. London Instruction of Education. University of London. Diunduh dari http://www.physics.indiana.edu/-sdi/IEM-2b.pdf.
Huda, M. 2013. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Kaufman, J.C., & Sternberg, R.J. 2017. Creativity Electronic Version . Diunduh dari http://www.psychology.csusb.edu/facultyStaff/Kaufman Sternburg2007_Resourc he_Review Creativity.pdf.
Lasmawan. 2013. Mengembangkan Pembelajaran IPS Berbasis Sosial Budaya dengan Model Konstruktivis. Dalam Laporan Penelitian. Singaraja: Undiksa.
Lestari, K.E dan Yudhanegara, M.R. 2015. Penelitian Pendidikan Matematika. Bandung: Refika Aditama.
Lewis, A., and Smith, D. 1993. Definiting Higher Order Thinking. Theory into Practice. 32 (3), hal. 131-137.
Mudawati, Sri. 2008. Peningkatan Aktivitas Belajar melalui penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Terpadu membaca dan Menulis (CIRC) pada Pkok Bahasan Lingkungan Hidup dan Pelestariannya di Kelas VIII MTs Negeri Gandusari Blitar. Dalam Thesis. Malang: Universitas Negeri Malang.
Richard E. Gross, et.al. 1978. Social Studies for Our Times. Newyork: John Wiley and Sons.
Silver, E.A. and Cai, J. 1996. An Analysis of Arithmetic Problem Posing By Middle School Students. Dalam Journal for Research In Mathematics Education. Vol 27 (5), hal. 521-539.
Slavin, R.E. 2010. Cooperative Learning (Teori, Riset dan Praktik), Bandung: Nusa Media.
Somantri, M.N. 2010. Inovasi Pembelajaran IPS. Bandung: Rizqi Press.
Suprijono. 2011. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.