FENOMENA MUDIK DAN PSBB
Prof. Dr. ENDANG KOMARA, M.Si
Guru Besar ASN LLDIKTI Wilayah IV Dpk pada Magister PIPS STKIP Pasundan, Ketua Paguyuban Profesor LLDIKTI Wilayah IV, Ketua Dewan Pakar ASPENSI, dan Ketua Dewan Pakar DPP GNP TIPIKOR |
Fenomena mudik lebaran merupakan salah satu gejala sosial dalam masyarakat. Menjelang lebaran warga masyarakat yang merantau akan kembali ke daerah asalnya. Salah satu budaya milik masyarakat Indonesia, khususnya Jawa yang menarik untuk diapresiasi adalah adanya tradisi mudik lebaran.
Mudik (oleh KBBI disinonimkan dengan istilah pulang kampung) adalah kegiatanperantau/pekerja migran untuk pulang ke kampung halamannya. Kata ‘’mudik’, artinya pulang kampung, sedangkan lebaran adalah perayaan Idul Fitri, yaitu hari raya keagamaan umat Islam yang diperingati setiap 1 Syawal Hijriah. Tradisi mudik lebaran berarti budaya pulang kampung saat menjelang Idul Fitri tiba, dengan maksud agar dapat merayakan lebaran bersama keluarga di kampung halamannya.
Mudik adalah keinginan terbesar seseorang saat menjelang lebaran. Budaya ini biasanya dilakukan oleh para perantau yang tinggal di kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta. Mereka biasanya adalah orang yang datang dari desa yang pergi merantau ke kota untuk mengadu nasib atau mencari pekerjaan. Mudik lebaran merupakan ritual tahunan yang tidak pernah dilewatkan oleh umat muslim perantau yang ada di kota-kota di seluruh Indonesia. Setiap menjelang Idul Fitri dapat disaksikan betapa padatnya arus mudik lebaran. Tanpa dikomando, jutaan orang pulang ke kampung halaman, dengan caranya masing-masing, baik melalui jalur transportasi darat, laut maupun udara. Ada yang menggunakan mobil pribadi, kendaraan umum seperti bus, travel, kereta api, pesawat, kapal, bahkan tidak sedikit pula yang mengendarai motor secara beramai-ramai seperti konvoi.
Keunikan mudik lebaran dapat pula dilihat dari repotnya orang yang mau mudik. Mulai dari pesan tiket kendaraan umum yang kadang kala harus berebut dan antri, membawa barang dan hadiah buat keluarga di kampung, berjam-jam terjebak dalam kemacetan, dan tidak kalah repotnya pula bagi pasangan suami istri yang harus membawa anak-anak yang masih kecil. Tidak salah apabila dikatakan bahwa mudik adalah perjalanan yang sangat melelahkan dan juga merepotkan. Di samping membuang waktu dan biaya, mudik juga menguras tenaga dan pikiran, bahkan kadangkala harus mengalami penderitaan dan kematian akibat kecelakaan lalulintas.
Menurut Rakhmat (2003:154), bahwa budaya mudik hampir tidak dapat dijumpai pada masyarakat di luar negeri, termasuk negeri muslim sekalipun. Idul Fitri boleh jadi adalah milik atau dirayakan oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Akan tetapi, lebaran adalah khas Indonesia. Lebaran adalah contoh unik tentang bagaimana idiom Islam diterjemahkan secara kreatif dalam budaya Indonesia.
Menurut Fuad (2011:5), bahwa kekhasan atau keunikan lebaran di Indonesia tidak saja dilihat pada fenomena mudik, tetapi dapat dilihat pula pada suasana dan idiom seperti takbiran, bersalam-salaman, sungkeman, hala bilhalal, ziarah kubur menjelang lebaran dan menjelang Ramadhan (nyadran), jamuan lebaran, tradisi memberi sangu kepada anak kecil dan sebagainya. Di balik idiom tersebut, terdapat makna dan tujuan yang perlu diungkap. Secara normatif dan universal, penjelasan tentang makna Idul Fitri sebenarnya telah banyak diungkap oleh al-Qur’an maupun Hadist. Akan tetapi, makna lebaran yang lokal dan partikular perlu diungkap secara fenomenologis, yaitu dari pengalaman subjek yang melakukannya. Dalam konteks tradisi mudik lebaran, hal itu dapat digali dari masyarakat yang mengalaminya. Mereka adalah para perantau yang sedang melakukan mudik lebaran. Kebiasaan dan pengalaman pemudik saat berlebaran di kampung halaman adalah sebagai berikut: Pertama, takbiran. Salah satu momen yang biasanya mendatangkan pengalaman baru bagi umat Islam dalam merayakan Idul Fitri adalah saat takbiran; saat ketika melantunkan takbir baik secara individual maupun berjamaah, ataupun saat mendengarkan kumandang takbir dan bedug yang bertalu-talu dari masjid dan mushola di sekitar rumah. Perasaan haru ini akan sangat tampak apabila seseorang karena sesuatu hal tidak dapat berlebaran di kampung halaman. Pemudik merasakan bahwa saat takbiran atau mendengar takbir diri mereka merasa betapa nikmatnya berpuasa dan merindukan kembali kehadiran Ramadhan di tahun depan. Kedua, Shalat Id bersama keluarga besar. Salah satu tradisi ibadah masyarakat muslim Indonesia, termasuk para pemudik, yang menarik untuk diamati adalah shalat Idul Fitri. Setiap tempat dilangsungkannya shalat Id, baik di tanah lapang, halaman kantor atau masjid yang biasanya sepi saat shalat Jum’at, akan dipadati dengan jamaah yang membludak. Mereka dengan semangat berbondong-bondong bersama keluarga disertai senyum ceria, mabli membawa sajadah, koran, bahkan tikar untuk mengikuti shalat Id berjamaah. Di antara mereka, sebenarnya tidak sedikit yang tidak pernah atau jarang shalat, baik shalat lima waktu maupun shalat Jum’at. Para pemudik menikmati shalat Id dalam konteks dapat bersama keluarga dan jamaah lain yang tinggal sekampung. Ketiga, kumpul dengan keluarga dan ‘’sungkeman’’ kepada orang tua. Pengalaman membahagiakan yang selalu dirasakan oleh orang yang mudik lebaran adalah saat bisa berkumpul dengan sesama anggota keluarga. Kebahagiaan itu memuncak saat mereka tiba di kampung halaman, bertemu dan berkumpul dengan mereka saat buka bersama di akhir Ramadhan, malam takbiran, shalat Id, dan bersimpuh di pangkuan orang tua. Pengalaman ini agaknya merefleksikan betapa berartinya seorang ibu bagi pemudik. Keempat, bersilaturahim, bersalaman, dan mengunjungi sanak saudara, teman, guru ngaji dan tetangga. Setelah menumpahkan segala kesalahan dan saling memaafkan dalam keluarga inti, pada hari pertama lebaran, pemudik biasanya melanjutkan silaturahim dengan cara berkunjung kepada kerabat, seperti kakek, nenek, paman, bibi, tetangga yang tinggal si sekitar rumah di kampung, teman dekat, serta tidak ketinggalan pula kepada guru ngaji, kyai, atau tokoh spiritual yang ada di kampung. Dalam form berkunjung ini, setelah saling bersalaman dan memaafkan, sembari menikmati hidangan khas lebaran, biasanya mereka saling bercerita tentang perjalanan mudik, pekerjaan, kondisi keluarga, sekolah anak-anak, dan saling mendo’akan. Pada hari kedua dan seterusnya, silaturahim diteruskan kepada saudara dan teman dekat yang tinggal di luar daerah. Kelima, memberi hadiah (memberi sesuatu) kepada anggota keluarga; orangtua, istri, saudara, anak-anak, keponakan, dan lainnya. Dalam merayakan lebaran, orang akan mengenakan baju baru, demikian pula bagi pemudik. Namun demikian, bagi pemudik yang berlebaran di kampung halaman, yang terpenting bagi mereka adalah bisa memberikan sesuatu buat orang tua dan saudara. Sesuatu itu biasanya berupa baju, sandal, mukena, makanan dan lainnya. Di luar itu, terdapat pula sebuah tradisi pemberian sangu (uang) kepada anak-anak kecil. Keenam, ziarah kubur. Sebuah tradisi keagamaan uyang biasanya dilakukan pula oleh para pemudik adalah ziarah kubur. Tradisi ini sebenarnya biasanya dilakukan menjelang datangnya Ramadhan (nyadran) dan menjelang Idul Fitri, namun ada pula yang melaksanakannya setelah shalat Id. Ketujuh, menghadiri hal bilhalal (reuni) keluarga atau alumni sekolah. Salah satu motivasi yang mendorong bagi pemudik untuk berlebaran di kampung halaman adalah agar bisa menghadiri acara kumpul-kumpul semacam ini. Dalam acara tersebut, biasanya diisi dengan sambutan permohonan maaf dan ucapan Idul Fitri oleh wakil masing-masing pihak, pengajian yang mengulas hikmah silaturahim, bersalam-salaman, dan ada pula yang disertai arisan keluarga, santunan kepada anak yatim, dan pembagian doorprize. Kedelapan, zakat dan bersedekah. Sekalipun bukan amalam khas Idul Fitri (kecuali zakat fitrah), umat muslim di Indonesia, termasuk para pemudik telah terbiasa memberikan zakat dan sedekah saat menjelang Idul Fitri, bersamaan dengan pemberian zakat fitrah. Betapapun secara sosial pemberian zakat tersebut belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan secara institusional belum diatur dengan baik, tetapi paling tidak hal itu memberi pengalaman keagamaan tersendiri bagi para pemudik saat bisa berbagi terhadap orang-orang di kampungnya. Kesembilan, rekreasi. Merayakan Idul Fitri di kampung halaman, berkumpul dengan anggota keluarga, rasanya kurang lengkap apabila tidak disertai dengan rekreasi bersama keluarga, berkunjung ke tempat-tempat wisata terdekat. Inilah yang menjadi acara puncak rangkaian mudik lebaran di kampung halaman.
Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) soal larangan mudik 2020 hanya berlaku untuk daerah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), zona merah, dan aglomerasinya. Tercatat sudah ada 24 daerah berstatus PSBB di Indonesia. Sebagaimana diketahui, Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19 telah berlaku. Bunyi pasal yang membatasi pemberlakuan larangan mudik di masa wabah Corona ini, Pasal 2 yaitu: Larangan sementara penggunaan sarana transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berlaku untuk sarana transportasi dengan tujuan keluar dan/atau masuk wilayah: (a) Pembatasan sosial berskala besar; (b) Zona merah penyebaran corona virus disease 2019 (COVID-19); dan (c) Aglomerasi yang telah ditetapkan sebagai wilayah pembatasan sosial berskala besar.
Berdasarkan aturan di atas, maka larangan mudik hanya untuk wilayah PSBB hingga zona merah. Mudah-mudahan Allah Swt mempertemukan kembali dengan Ramadhan-Ramadhan selanjutnya, dan mudah-mudahan kegiatan Idul Fitri 1441 H dapat dilaksanakan secara khusyuk, baik dilaksanakan di masjid, lapangan perkantoran maupun di rumah masing-masing. *** Semoga ***.
DAFTAR PUSTAKA
Fuad,Muskinul. 2011. Makna Hidup Di Balik Tradisi Mudik Lebaran. Dalam Komunika, Vol. 5, No. 1, Januari – Juni 2011.
Rakhmat, Jalaludin. 2003. Islam Aktual. Bandung: Mizan.