NUZULUL QUR’AN & LAILATUL QADAR



Prof. Dr. ENDANG KOMARAM.Si

Guru Besar LLDIKTI Wilayah IV  Dpk pada Magister PIPS STKIP Pasundan,
Ketua KORPRI & Ketua Paguyuban Profesor, Ketua Dewan Pakar ASPENSI dan Ketua Dewan Pakar DPP GNP TIPIKOR


Al-Qur’an merupakan kitab suci kaum muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus mereka imani dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari agar memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat kelak. Oleh karenanya kaum muslimin tidak hanya mempelajari isi (content) dan pesan-pesan (messages), tetapi juga berupaya untuk menjaga keasliannya. Dalam memepelajari ilmu Al-Qur’an  ada beberapa hal yang penting untuk dipelajari dan salah satunya adalah bagaimana Al-Qur’an diturunkan dan bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Khulafaur Rasyidin. Karena dengan mengetahui bagaimana proses pengumpulan Al-Qur’an  kita dapat mengerti bagaimana usaha-usaha para sahabat untuk tetap memelihara Al-Qur’an. 
Kata nuzul menurut bahasa mempunyai beberapa arti, misalnya Imam Ar-Raghib Al-Asfihani dalam kitabnya Al-Mufradaat, kata nuzul itu mempunyai arti Al-inhidar min’uluwwin ila safalin(meluncur dari atas ke bawah, atau berarti turun). Salah satu firman Allah Swt yang artinya: Dia menururkan air (hujan) dari langit (Q.S. Al-Baqarah: 22). Kemudian selanjutnya  Imam al-Fairuz Zabad dalam kamusnya Al-Muhith Al-Hulul Fil Makan, kata nuzulul itu mempunyai arti: ‘’bertempat di suatu tempat’’, contohnya Allah Swt berfirman, yang artinya: ‘’Dan berdoalah: Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat  yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.’’ (Q.S. Al-Mukminun: 29).
Berdasarkan kedua pengertian di atas, maka Nuzul Qur’an artinya turunnya Al-Qur’an. Hal tersebut biasa diperingati  oleh umat Islam yang dikemas dalam suatu ritual  yang disebut Nuzulul Qur’an. Turunnya Al-Qur’an untuk yang pertama kalinya merupakan tonggak sejarah manusia satu syariat baru dari agama tauhid yaitu agama Islam, sebagai penyempurna dari agama-agama tauhid sebelumnya (Taurat, Zabur dan Inzil).
Ayat-ayat Al-Qur’an tidaklah diturunkan  sekaligus secara keseluruhan, tetapi  secara berangsur-angsur sesuai dengan ketentuan yang ada. Itulah sebabnya, ayat-ayat Al-Qur’an atau surat-suratnya yang diturunkan tidak sama jumlah dan panjang pendeknya, terkadang diturunkan sekaligus secara penuh dan terkadang sebagiannya saja. 
Seperti dijelaskan oleh Khmr (2020), bahwa Al-Qur’an diturunkan melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu: Tahap Pertama, Al-Qur’an diturunkan ke Lauh al-Mahfuzh secara sekaligus dalam arti, bahwa Allah menetapkan keberadaannya di sana, sebagaimana halnya dia menetapkan adanya segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, tetapi kapan saatnya serta bagaimana caranya tidak seorangpun mengetahui kecuali Allah, sesuai dengan Firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al-Buruj ayat 21-22, yang artinya: ‘’Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur’an yang mulia (tersimpan) di Lauh al-Mahfudh’’.
Tahapan kedua, Al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul Izzah di langit dunia. Jadi, setelah  berada di Lauh Mahfudh kitab Al-Qur’an  itu turun  ke Baitul Izzah di langit dunia atau langit terdekat  dengan bumi ini. Baik dari ayat Al-Qur’an  maupun dari Hadist Nabi Muhammad Saw, diantaranya sebagai berikut: Pertama, Inna anzalnahi fi lailatin  mubarakatin: sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an itu pada malam yang diberkati. Kedua, Inna anzalnahu fi lailatil qadri: Kami menurunkan Al-Qur’an  itu pada malam  Lailatul Qadar. Ketiga, Syahru Romadhon Unzila fihil Qur’an: Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan kitab suci Al-Qur’an.
Tahap ketiga, Al-Qur’an turun dari Baitul Izzah  di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad Saw, tetapi turunya kepada Nabi tidak  dengan sekaligus, melainkan sedikit-sedikit menurut keperluan, masa dan tempat. Nuzulul Qur’an yang ketiga kali ialah dengan perantara Malaikat Jibril dari Baitul Izzah kepada Nabi Muhammad Saw yang terjadi pada 17 Ramadan dalam Gua Hira’ di Mekkah Al-Mukaromah. Dalil-dalil yang menguatkan hal ini sebagai berikut: Pertama, ‘’Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas.’’ (Q.S. Al-Baqarah:99). Kedua, “Dialah yang menurunkan Al-Qur’an kepadamu. Di antara isinya ada ayat-ayat mukhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an  dan yang lain (ada ayat-ayat) mutasyabbihat.’’ (Q.S. Ali Imran:7). Ketiga, “Ia  (Al-Qur’an) itu dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi  salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan.” (Q.S. Asy-Syu’ara: 193-194). Keempat, 
‘’Sesungguhnya Al_Harits bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah Saw seraya berkata: ’’Wahai Rasulullah, bagaimanakah wahyu itu datang kepadamu? Maka Rasulullah bersabda: ‘’Kadang-kadang datang kepadaku seperti gemuruhnya bunyi lonceng, dan itu paling berat bagiku. Maka begitu berhenti bunyi itu dariku, aku telah menguasai apa yang sudah diucapkannya. Dan kadang-kadang Malaikat menyamar kepadaku sebagai laki-laki, lalu mengajak berbicara denganku. Maka aku kuasai apa yang  dikatakannya. ‘’Aisyah lalu berkata: ‘’Saya pernah melihat beliau wahyu pada hari yang sangat dingin, tetapi begitu selesai wahyu itu dari beliau, maka bercucurlah keringat dipelipis beliau.’’ (H.R. Al-Bukhari).
Untuk pengumpulan dalam rangka pelestarian Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad Saw dilakukan dengan 2 (dua) kategori penjagaan atau pengumpulan Al-Qur’an, yang pertama dalam dada dan yang kedua dalam dokumen atau catatan. Pertama, pengumpulan Al-Qur’an dalam dada adalah dengan hafalan yang dilakukan oleh Nabi maupun para Sahabat pada saat itu.  Yang mana diketahui bahwa Al-Qur’anul Karim turun kepada Nabi yang ummy(tidak bisa baca tulis), karena itu perhatian Nabi hanyalah dituangkan untuk sekedar menghafal dan mengayatinya, agar ia dapat menguasai Al-Qur’an persis sebagaimana halnya Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah itu, ia membacakannya dan memantapkannya. Yang jelas adalah bahwa Nabi seorang yang ummy  dan diutus Allah di kalangan orang-orang yang ummy pula. Allah berfirman yang artinya: ‘’Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakannya ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dengan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah.’’ (Q.S. Al-Jumu’ah: 2).  Dengan turunnya Al-Qur’an  yang struktur bahasanya sangat jelas, tegas ketentuan dan kekuasaannya yang luhur, mereka terketuk dan kagum serta terpesona dengan dialek yang terdapat dalam Al-Qur’an sehingga perhatiannya dicurahkan kepada Al-Qur’an. Dan mereka pun banyak yang menghafalnya ayat demi ayat dan surat demi surat. Secara perlahan mereka tinggalkan syair-syair yang mereka bisa hafalkan karena merasa memperoleh ruh/jiwa dari Al-Qur’an. Kedua, pengumpulan dalam bentuk tulisan. Rasulullah mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Qur’an beliau memerintahkan kepada mereka untuk menulisnya, agar memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Al-Qur’an, sehingga penulisan tersebut dapat melahirkan hafalan dan memperkuat ingatannya.
Pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar Ash Shidiq yaitu dengan memindahkan satu tulisan atau catatan pada kulit binatang, tulang, dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf dengan ayat-ayat dan surat-suratnya yang tersusun serta terbatas dalam satu mushaf. Proses pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dimulai ketika Rasulullah Saw berpulang ke Rahmatullah setelah beliau selesai menyampaikan risalah dan amanah-Nya. Pada awal Pemerintahan Abu Bakar terjadi kekacauan akibat ulah Musailamah al-Kazzab beserta pengikutnya karena mereka menolak untuk membayar zakat dan murtad dari Islam. Pasukan Islam yang dipimpin Khalid bin Walid segera menumpas gerakan itu, peristiwa tersebut terjadi di Yamamah tahun 12 H, akibatnya banyak kalangan Sahabat yang hafal Al-Qur’an  dan ahli bacanya mati syahid yang jumlahnya lebih dari 70 orang huffazh ternama, oleh karena itu kaum muslimin menjadi bingung dan khawatir lenyap dengan banyaknya huffazh yang gugur, awalnya Abu Bakar merasa ragu, setelah dijelaskan oleh Umar tentang nilai positifnya, ia pun menerima usul dari Umar RA, dan Allah melapangkan dada Abu Bakar untuk melakukan tugas yang mulia tersebut.
Setelah Khalifah Abu Bakar wafat, maka digantikan oleh Khalifatul Mukminin yaitu Umar bin Khatab. Demikian juga halnya mushaf, yang dulunya disimpan oleh Abu Bakar maka setelah Umar menjadi Khalifah mushaf tersebut berpindah tangan kepada Umar bin Khatab. Pada masa itu tidak membicarakan Al-Qur’an melainkan lebih memfokuskan pada pengembangan ajaran Islam dan wilayah kekuasaan Islam, serta mengedepankan ajaran Islam. Al-Qur’an juga tidak dipahami secara tekstual saja, tapi lebih jauh lagi secara kontekstual.
Periode ketiga ini terjadi pada masa Khalifah Utsman bin Affan, tahun 25 H yang melatar belakanginya adalah ketika perbedaan bacaan (qiro-at) di kalangan umat Islam, lantaran berkembangnya mushaf-mushaf yang ada pada para Sahabat. Melihat kekhawatiran terjadinya fitnah, Khalifah Utsman menginstruksikan agar mushaf-mushaf tersebut disatukan agar umat Islam tidak berbeda lagi ketika membaca Al-Qur’an yang bisa menyebabkan perpecahan.
Mushaf Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As adalah pengumpulan Al-Qur’an berdasarkan urutan turunnya (tarih nuzul), Ibnu Nadim di dalam kitab Fihrist-nya menuliskan, ‘’Amirul Mukminin Ali As merasakan bahwa masyarakat pada waktu itu memandang wafatnya Nabi Muhammad Saw sebagai pertanda buruk bagi masa depan Islam dan kaum Muslimin, maka beliau bersumpah untuk tidak meletakkan kain rida-nya ke bawah kecuali setelah berhasil mengumpulkan seluruh ayat Al-Qur’an. Dalam waktu tiga hari beliau berhasil mengumpulkan seluruh ayat Al-Qur’an dan membawanya ke masjid. 
Menurut Tausikal (2013) bahwa, Lailatul Qadar adalah malam yang ditetapkan Allah bagi umat Islam. Ada dua pengertian mengenai  maksud malam Lailatul Qadar. Pertama, Lailatul Qadar adalah malam kemuliaan. Kedua, Lailatul Qadar adalah waktu ditetapkannya taqdir tahunan. Lailatul Qadar adalah waktu penetapan takdir sebagaimana disebut dalam Q.S. Ad Dukhon, yang artinya, “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.’’ (Q.S. Ad Dukhon: 4). Lailatul Qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw, yang artinya: Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan (HR. Bukhari dan Muslim).
Semoga Allah Swt memudahkan kita untuk bersemangat dan khusyuk  dalam melaksanakan ibadah di bulan suci Ramadan dan semoga kita termasuk di antara hamba yang mendapat malam yang penuh kemuliaan serta menjadikanlah Ramadan tahun ini merupakan Ramadan yang terbaik selama hidup kita *** Semoga ***.


DAFTAR PUSTAKA

Khmr, Ulfi. 2020. Ulumul Qur’an-Nuzulul Qur’an. Dalam https://islam.nu.or.id/post/read/10119.

Tuasikal, Muhammad Abduh. 2013. Kajian Ramadhan 17: Tanda Lailatul Qadar dan Kapan Lailatul Qadar Terjadi. Yogyakarta: Pesantren Darush Sholihin.

Zuhi, dkk. 2020. Fikih Pandemi: Beribadah di Masa Wabah. Jakarta: NUO Publishing.

Popular Posts