REFLEKSI HUT KEMERDEKAAN RI KE-75
Prof. Dr. ENDANG KOMARA, M.Si
| |
Guru Besar LLDIKTI Wilayah IV Dpk pada Magister PIPS STKIP Pasundan, Ketua Paguyuban Profesor LLDIKTI Wilayah IV, Dewan Pakar ABPPTS Pusat dan Ketua Umum DPP GNP Tipikor |
Senin, 17 Agustus 2020, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) genap berusia 75 Tahun. Hari Ulang Tahun NKRI tahun ini terasa ‘’istimewa’’, karena bertepatan dengan kondisi Pandemi Covid-19, dan menunjukkan usia yang sudah dewasa. Data terakhir, Minggu 16 Agustus 2020 yang terpapar Covid-19 di Indonesia dengan angka positif mencapai 137,468, sembuh 91,321 dan meninggal 6,071 orang. Alhamdulillah sekarang surah ditemukan obat Covid-19 hasil kerjasama BIN dengan UNAIR, dan surah diujicobakan kepada pasien Covid hasilnya 90% sembuh dan surah dilakukan uni blinis ke-3. Insya Allah Rabu, 19 Agustus 2020 hasil uji klinis tahap ketiga akan disampaikan kepada Badan POM untuk mendapatkan izin produksi dan bisa disebar luaskan kepada seluruh masyarakat Indonesia yang terpapar Covid-19.
Perayaan HUT Kemerdekaan RI Ke-75 kurang menguntungkan bagi bangsa Indonesia dan dunia, karena pandemi wabah virus Corona atau Covid-19 telah mempengaruhi kesehatan, psikologi, sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Namun demikian, usia 75 tahun yang sering dirayakan dengan sebutan ulang tahun berlian, memberikan gambaran usia yang matang dan telah menjalani berbagai tantangan hidup dan telah teruji, baik masa pemerintahan Orde Lama, Orde Baru maupun pemerintahan Pascareformasi. Kemerdekaan Indonesia, bukanlah suatu hadiah dari bangsa lain, namun merupakan hasil perjuangan rakyat Indonesia yang telah berkorban para Founding Fathers, baik jiwa, harta maupun raga dengan satu tujuan yaitu Kemerdekaan. Perjuangan rakyat Indonesia tidak boleh padam dan harus terus berlanjut dalam rangka mempertahankan serta mengisi kemerdekaan sesuai dengan bidang dan profesi kita masing-masing. Bung Karno, pernah berpesan, perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit, karena melawan bangsamu sendiri.
Perjuangan seperti inilah yang sulit, karena tidak tahu siapa lawan dan siapa kawan. Perjuangan yang dilakukan bukanlah untuk melawan masyarakat atau penduduk Indonesia. Namun untuk merangkul dan mengajak setiap pihak bekerja sama membangun negeri yang kita cintai ini. Saat ini, masyarakat kita masih bisa dengan mudah termakan provokasi tanpa memeriksa lebih jauh fakta yang ada terutama jika sudah menyangkut masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Ada lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut Sensus BPS tahun 2010. 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai Bahasa Ibu. Konon katanya 2/3 Bahasa Ibu di Indonesia mengalami kepunahan. Sementara itu dalam buku Literasi Politik (2019) yang ditulis oleh Dr Gun Gun Heryanto dkk diungkapkan bahwa ikrar sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa merupakan ikrar yang sangat monumental bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Ikrar ini atau Sumpah Pemuda yang dibacakan di arena Kongres Pemuda II dan dihadiri oleh kaum muda lintas suku, agama, dan daerah, nantinya, 17 tahun kemudian, melahirkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Dari kedua peristiwa tersebut, makna yang terkandung di dalamnya mengajarkan nilai-nilai persatuan bangsa. Sumpah Pemuda membuktikan, perbedaan yang dimiliki bangsa Indonesia ternyata dapat disatukan sebagai perwujudan Bhineka Tunggal Ika yang berarti ‘’Berbeda-beda tetapi tetap satu’’. Nilai-nilai positif yang harus diterapkan dalam kehidupan sehar-hari seperti; nilai patriotisme, gotong royong, musyawarah untuk mufakat, cinta tanah air, kekeluargaan, persatuan dan kesatuan, kerukunan, kerja sama, cinta damai serta tanggung jawab. Makna yang terkandung di dalamnya harus dijadikan inspirasi bagi generasi muda Indonesia sekarang untuk membawa negara ini ke arah perubahan yang lebih baik, bukan justru terpecah belah dalam pusaran konflik antar sesama anak bangsa sendiri.
Hal yang bisa dilakukan misalnya, setiap berita atau isu yang ada di berbagai media langsung ditangkap sebagai fakta tanpa menganalisanya terlebih dahulu dan kebanyakan dari kita masih memiliki mental penghujat. Apakah kita tidak pernah belajar dari sejarah bahwa 350 tahun Belanda berhasil menjajah kita, karena kita terpecah belah dengan politik devide et impera atau disebut juga dengan adu doma yang merupakan kombinasi strategi politik, militer dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan.
Dalam HUT ke-75 di masa Pandemi Covid-19 ini, Indonesia mengambil tema ‘’Indonesia Maju’’ dan logo berbentuk perisai yang juga terinspirasi dari simbol perisai yang ada dalam Lambang Garuda Pancasila. Di logo ini Indonesia digambarkan sebagaia negara yang mampu memperkokoh kedaulatan dan menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia.
Sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI tahun 1945 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Menurut Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan bahwa negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan ksejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No. 12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat dalam seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila ‘’Ketuhanan Yang Mahaesa’’ sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila ‘’Ketuhanan. Yang Mahaesa’’. Secara tegas Dr. Hamka (1981) mengatakan: ‘’Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Mahaesa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 (empat) dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Mahaesa. Dengan demikian dapatlah disimpulan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
1. Ketuhanan Yang Mahaesa. Artinya Pancasila memiliki makna yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya Pancasila memiliki makna yang ber-Ketuhanan Yang Mahaesa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Persatuan Indonesia. Artinya Pancasila memiliki makna yang ber-Ketuhanan Yang Mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Artinya Pancasila memiliki makna yang ber-Ketuhanan Yang Mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Kedilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya Pancasila memiliki makna yang ber-Ketuhanan Yang Mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Sejarah telah membuktikan bahwa persatuan dan kesatuan dari berbagai suku, kelompok dan golongan yang menghantarkan Indonesia ke pintu gerbang Kemerdekaan Indonesia dan para pendiri bangsa telah mewariskan Pancasila sebagai Perekat Persatuan dan Kesatuan yang wajib kita pelihara, kita kawal dan kita jaga bersama. Ancaman perpecahan bisa datang kapan dan dimana saja apabila ada oknum masyarakat yang mudah dipecah belah oleh perbedaan, konflik, perebutan kekuasaan, permasalahan sosial dan yang lainnya. Terutama dalam menghadapi masa pandemi Covid-19 saat ini, rakyat Indonesia wajib bersatu, karena persatuan dan kesatuan yang akan menjadikan kita negara yang kuat, mandiri dan mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Mudah-mudahan Allah Swt segera mencabut pandemi Covid-19 di bumi pertiwi ini agar kita bisa hidup hormal seperti biasanya.
DAFTAR PUSTAKA
Dipoyudo, Kirdi. 1979. Pancasila, Arti dan Pelaksanaannya. Jakarta: Yayasan Proklamasi – CSIS.
Hamka. 1981. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Power Merchant.
Heryanto, Gun Gun dkk. 2019